Blog

Ketika Ingin Merubah Dunia Tanpa Kekerasan

Dengan modal khatam membaca satu buku feminisme dan dendam pribadi atas apa yang sudah ayahku lakukan kepada ibuku (baca: KDRT), aku berangan-angan menjadi aktivis feminisme.

Teman-teman kuliahku – terutama pria – aktif dalam ikut serta demonstrasi RUU-KPK tahun 2019, bahkan sahabatku Lisa yang selalu aktif dalam aksi mahasiswa karena dia kuliah jurusan Sosiologi. Lisa dan aku tertarik pada feminisme dan kami kompak ingin menjadi feminis, entah motif apa Lisa ingin menjadi feminis. Jiwa muda kami berkobar-kobar ingin membuat perubahan dengan interest yang sama: feminisme.

Kami membayangkan seorang perempuan gagah nan berani berorasi menggunakan toa menuntut keadilan dan kesetaraan gender di depan kantor kerja para pekerja yang dibayar menggunakan pajak rakyat, dipagari tentara dan polisi di sisi kanan-kiri barisan kami, lalu suara kami dipertimbangkan untuk mereka rapatkan. Kami akan sangat berterima kasih kepada dunia dan Tuhan dan kupanjatkan doa sampai menembus langit ke-sembilan, “Terima kasih Tuhan, sudah mendengar suara lirih manusia yang dikelas-duakan ini”

Bayangkan, suara parau para perempuan menuntut keadilan atas kekerasan – dimulai dari ranah yang privat seperti kekerasan dalam rumah tangga – didengar pemerintah. Bayangkan ibu rumah tangga terbebas dari bogem suami yang beridealisme patriarki toksik sambil berkhotbah memvalidasi kekerasan karena kodratnya perempuan derajatnya dibawah laki-laki. Sudah pasti tidak akan ada anak-anak korban paparan KDRT yang sakit mentalnya dan beperilaku menyimpang. Sudah pasti generasi selanjutnya tidak akan melanjutkan lingkaran setan yang sama.

Dulu, aku anak yang rajin sholat. Setiap hari aku harus membaca Al-Qur’an minimal 5 ‘ain sehabis sholat Maghrib. Bahkan sholat Tahajud aku lakukan hampir setiap malam. Setiap aku selesai sholat, aku selalu berdo’a agar kejahatan dan ketidakadilan di atas dunia ini dihapuskan. Semua korban yang dirugikan mendapatkan apa yang hilang dari dirinya, pelakunya mendapatkan balasan yang setimpal atas konsekuensi yang sudah dilakukannya. Aku tidak pernah lupa untuk mendoakan itu sambil mengangkat tangan.

Tetapi, waktu terus berlalu. Empat tahun yang lalu bukanlah aku yang sekarang. Aku yang sekarang menyalahkan Tuhan. Aku menyalahkan suatu ayat yang terkesan memvalidasi kekerasan terhadap istri. Mungkin kalian tahu ayat mana itu, aku tidak mungkin memberitahunya disini. Tetapi terkadang harus kusadarkan diri sendiri bahwa ayat tersebut masih ada lanjutan yang panjang bahwa itu bukan memvalidasi, tetapi hanya sebuah peringatan.

Aku merasa Tuhan tidak adil dan hanya berpihak kepada laki-laki.

Dulu, aku memang depresi, tetapi aku masih berbaik sangka kepada Tuhan bahwa keadaan akan membaik. Dunia ini akan membaik seiring berjalannya waktu. Mungkin suatu hari, aku akan puas melihat grafik kekerasan terhadap perempuan menurun. Aku berdo’a agar dunia menjadi tempat yang aman untuk semua perempuan dan mendo’akan korban semoga Tuhan memberikan hidup yang lebih baik.

Sayangnya, aku terlalu naif. Harusnya tidak seluruh dunia dulu yang harus berubah. Dunia tidak akan berubah secepat itu. Dunia akan berubah menjadi lebih baik jika setidaknya diri sendiri dulu yang harus merubah hidup diri sendiri menjadi lebih baik.

Banyak proses panjang yang harus kutempuh agar dunia menjadi lebih baik setidaknya untuk diri sendiri dulu. Dimulai dari membuat batasan tolerir: aku tidak akan mentolerir kekerasan sekecil apapun.

Mantanku berpotensi abusive. Kami berpacaran dari tahun 2019-2020. Pada kasus tertentu, terlihat dari caranya menanyakan keputusanku dengan cara membuatku dalam keadaan terpojok: jika keputusanku tidak sesuai dengan keinginannya, dia mengancam akan bunuh diri. Ketika emosinya sudah berada di puncak, dia akan memukul barang. Sudah berkali-kali dia merusakkan kaca motornya di depanku.

Meskipun dia tidak pernah memukulku, tetapi aku tetap tidak akan mentolerir tanda kekerasan sekecil apapun. Sehingga kerugianku tidak akan dalam dan waktuku tidak akan terbuang sia-sia dengan orang yang salah. Meskipun orang tuaku menganggapku jahat karena aku menetapkan batasanku, tetapi tetap saja, toh yang namanya menjalani hubungan tetap aku juga, kan?

Perubahan besar dimulai dari yang terkecil, yaitu dimulai dari belajar dari kehidupan diri sendiri. Aku akan memberi nasihat kepada teman-teman perempuan korban kekerasan bahwa mereka berharga. Masih banyak laki-laki baik di dunia ini.

Dunia sebenarnya tidak sejahat itu dengan membiarkanmu di dalam hubungan yang toxic. Kita juga sebagai perempuan kadang tidak membuat batasan kepada mereka bahwa kita tidak mau diperlakukan kasar. Apalagi atas dasar cinta. Tidak ada tindakan kasar yang didasari rasa cinta, mereka hanya pengecut yang beraninya kepada perempuan yang notabene lebih lemah daripada laki-laki, bahkan untuk menguasai emosi diri sendiri saja tidak bisa.

Mungkin pernyataan yang akan kusampaikan terdengar klise: terkadang, perempuan lupa kalau diri mereka sebenarnya berharga. Trust me, kita hanya lupa sebentar. Aku percaya bahwa suatu hari kita akan bangkit dari keterpurukan ini. Meskipun kita korban, meskipun kita dipenuhi trauma, meskipun kita sakit jiwa dan raga, tetapi dengan menjadi perempuan yang kuat, kita tidak akan menjadi korban kekerasan lagi. Kita akan selamat dari kejamnya manusia yang tidak punya hati nurani jika dimulai dari sendiri: dengan membuat batasan dan mengingat bahwa diri kita itu berharga.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *