Tentang Dokter Soe
Saat SMA, ibuku pengen banget aku jadi dokter.
Entah kenapa dia berpikir demikian. Mungkin karena role model terbaik di lingkungan dan keluarga kami hanya seorang dokter langganan kami. Maklum, lingkungan rumah kami banyak anak-anak yang suka nongkrong dan berisik kalau malam. Belum lagi siskamling yang suka mabuk-mabukan di atas jam satu malam.
Kalau ayah – Hmm… Jangan ditanya. Aku hanya kagum dengan kekritisannya dia. He’s not really a good role model, either.
Ibuku suka naik darah kalau ada anak-anak tongkrongan yang berisik. Apalagi kalau dia lagi ngajarin aku pas ngerjain PR matematika. Di tengah aku belajar, dia akan pergi ke balkon dengan emosi penuh dan meneriaki anak tongkrongan itu semua.
“Berisik!” teriak ibuku. Lalu, mereka akan diam. Tapi bakal berisik lagi sambil mengejek ibuku. Alhasil, ibuku bakal turun dan ngebubarin mereka.
Habis puas ngebubarin mereka, dia selalu berpesan, “Nanti kalo udah gede, jangan nongkrong malem-malem ya. Nggak bagus! Kalo malem harus belajar. Biar pinter, terus jadi dokter.”
Dokter yang kumaksud adalah Dokter Soe, dokter langganan dan kepercayaan kami yang kliniknya dekat rumah.
Bangunan kliniknya bekas rumah tinggal yang berukuran besar. Untuk ukuran rumah tinggal di awal tahun 2000-an, rumah sebesar itu sudah termasuk rumah orang kaya. Terlebih, letak rumah tersebut ada di tengah pemukiman padat, di mana warganya berpendapatan rendah. Rumah tinggal yang jadi klinik itu terlihat paling mencolok.
Karena dialihfungsikan jadi klinik, warna catnya diubah dari abu-abu menjadi putih, begitupun kursi panjang dan pagarnya. “Ruang tunggu” pasien ada di teras depan, dengan dua kursi panjang yang letaknya zig-zag. Sedangkan ruang prakteknya di depan carport.
Selama menunggu, aku sering memperhatikan mobil Dokter Soe yang gonta-ganti: dari mobil Jeep, Kijang, sampai sedan BMW. Dan di waktu itu juga anak-anak sebantaranku takut dengan mobil Jeep. Karena waktu itu, mobil Jeep dianggap mobil penculik, seperti di film Petualangan Sherina yang lagi booming waktu itu. Tapi aku nggak pernah takut sama mobil Jeep, karena aku udah sering melihatnya di klinik. Siapa tahu itu punya Dr. Soe.
Dokter Soe adalah dokter yang menyenangkan yang pernah kutemui. Dari aku kecil, aku selalu diperiksa dia. Begitupun keluarga kami. Setiap permasalahan kesehatan selalu ia terangkan dengan simpel dan mudah dipahami. Ditambah lawakan khas jokes bapack-bapack. Believe me, dia tuh lucu banget orangnya. Jadi, dia adalah dokter kepercayaan kami.
Tapi dia suka nakutin-nakutin kalo aku susah dibilangin. Soalnya waktu kecil, aku nggak bisa nelen kapsul atau tablet. Jadi dia harus meresepkan puyer, obat yang dihaluskan agar mudah ditelan, yang rasanya pahit. Maka dari itu, kadang aku nggak mau minum obat.
Saat resep obat lagi dibikin, aku selalu nanya ke Dokter Soe, “Dok, sama obat sirup rasa stroberi kan?” atau nggak, “Sama sirup yang rasa jeruk nggak, dok?” Pikirku dulu, kalau habis minum puyer, minum obat sirup yang manis jadi penutup. Biar rasa pahit dari puyer hilang di lidah.
“Nggak ada. Kan demamnya Peni nggak parah. Jadi minum puyer aja, ya”, jawab Dokter Soe. By the way, Peni adalah panggilan akrab aku.
Aku pasti bakal merengut kecewa.
Lalu, biasanya menjelang natal, dia mendekorasi sedikit ruang prakteknya. Dia beli pohon natal kecil di atas meja di seberang ranjang periksa. Kadang dia tambahin lampu tumblr warna kuning.
“Dok, kok pohon natalnya kecil? Biasanya tuh pohon natal gede”, tanyaku.
“Iya, sengaja beli yang kecil. Biar Peni nggak manjat”, ejek Dokter Soe.
Aku, dokter dan ibuku hanya ketawa.
…
Menjelang SMP, Dokter Soe kadang tidak praktek di klinik seperti biasanya karena harus praktek di Taiwan. Ia digantikan dengan dokter penggantinya. Karena sudah terbiasa dengan Dokter Soe, akhirnya kami memutuskan untuk cari klinik lain, yang akhir-akhir ini makin banyak.
Klinik jadi terlihat lebih sepi, dan terlihat makin berdebu.
…
Memasuki SMA, saat tahu aku masuk kelas unggulan, ibuku langsung ceria dan bilang, “Nanti kuliahnya ambil kedokteran, ya”
“Ambil kedokteran?”, responku bingung.
“Iya, jadi dokter.” kata ibuku mantap.
Aku sempat berpikir lama. Ambil kedokteran? Aku jadi dokter, gitu? For real?
Jujur, aku nggak pernah kepikiran jadi dokter. Dulu saat TK sampai SD, aku ingin jadi polisi. Karena ditertawakan nenekku, akhirnya aku ganti jadi astronot. Lalu saat SMP, aku ingin jadi pelukis, penari, biarawati, atau aktris. Hingga SMA, aku serius ingin jadi arsitek.
Lalu, jadi dokter? Profesi itu nggak pernah terlintas di kepalaku. Aku nggak pernah ngebayangin kerja pakai jas putih dan stetoskop di leher. Lalu nulis resep obat dengan bacaan yang nggak bisa dibaca.
Selain itu, aku sering denger istilah “tulisan dokter” yang tulisannya susah banget dibaca. Sedangkan aku suka nulis dengan tulisan yang jelas kebaca. Karena hal itu, aku nggak suka jadi dokter: tulisannya nggak jelas, yang berkebalikan dari hobi nulisku yang harus jelas kebaca.
Aku juga pernah ngobrol sama temenku mengenai kuliah kedokteran. Denger-denger, kalo kuliah kedokteran nanti ada praktek ngebelek (membedah) mayat. Itupun mayatnya harus beli. Harganya diatas lima puluh juta. Entah bener apa enggak kabar itu, kedengarannya ekstrim aja.
“Duit dari mana kalo gue harus praktek ngebelek orang mati begitu?”, gumamku saat ngobrol sama Intan.
“Tapi katanya ada mayat yang gratis: mayat yang nggak ada identitasnya. Kayak korban kecelakaan yang nggak ada KTP-nya. Atau mayat yang hanyut kebawa arus sungai”
“Kalo mayat korban pembunuhan yang nggak bawa KTP?”
“Ya, itu termasuk”
“Kalo mayat nggak ada identitas gitu ambilnya di mana?”
“Di kantor polisi”
Aku manggut-manggut saja mempercayainya. Entah bener atau nggak.
Sejak saat itu aku mikir, kalau mau masuk kedokteran, aku mau pake mayat tanpa identitas aja. Tapi kalo dipikir-pikir, kayaknya nggak etis juga kalo berharap ada korban berjatuhan tanpa identitas.
Aku nggak suka aktivitas membedah. Kerokan aja sampe sekarang nggak berani, apalagi membedah daging manusia.
Dulu, aku pernah diajak ikut ekskul KIR sama sahabatku, tapi aku nggak mau. Gimana enggak, wong praktek pertama aja membedah kodok buat ngelihat organ dalam. Jelas lah aku gak mau.
Udah gitu aku nggak suka biologi. Banyak istilah asing dan cara kerja sel atau organ yang harus dihafal. Dan aku paling benci menghafal! I absolutely hate memorizing things!
Untuk orang yang kerjaannya ngegambar ini, dan masih mentolerir matematika, aku memutuskan untuk ambil arsitektur aja. Kayaknya kalo aku jadi kuliah kedokteran, aku bakal berhenti kuliah di bagian praktek membedah mayat.
…
Terakhir, aku ketemu Dokter Soe karena habis cedera kepala di tahun 2021. Aku udah bolak-balik klinik dan rumah sakit karena selalu deg-degan dan panik. Begitu dengar keluhan aku sehabis cedera kepala, dia kaget.
“Di rontgen nggak, Pen?”
“Iya, dok. Tapi hasilnya nggak ada yang aneh gimana-gimana. Katanya cuma memar aja.”
“Tangan kirinya sakit nggak?”
“Enggak sih, dok”
“Biasanya kalo ada indikasi penyakit jantung, tangan kirinya juga sakit selain di dada”, katanya sambil menulis sesuatu di kertas.
Dia meresepkan obat sebanyak enam jenis. “Ini saya resepin obat ada banyak, ya. Ada obat syaraf yang saya bawa dari Taiwan.”
“Oke, dok.”
Lalu, kami ngobrol sedikit tentang kuliahku. Dia terlihat lega karena aku masih nyambung diajak ngobrol: indikasi kalau cedera kepalaku nggak parah. Terlebih, dia masih ingat aku. Padahal saat SMA, aku udah nggak periksa di klinik dia lagi, berhubung sudah menjamurnya klinik lain di sekitar rumah. Kuliah pun jauh dari rumah.
Lalu, aku iseng bertanya sama Dokter Soe “Dok, emang bener ya kalo kuliah kedokteran nanti ada praktek ngebelek mayat?”. Aku iseng membawa topik yang kubahas dengan Intan saat SMA.
“Iya, bener. Biasanya mayat tanpa identitas, tapi udah dikasih izin sama lembaga yang bersangkutan, kayak kantor polisi atau rumah sakit”
“Hiih, serem!”, kataku bergidik ngeri. “Dokter berani ngebelek mayat gitu?”
“Itu kan wajib, biar tahu anatomi tubuh manusia langsung. Kalo saya nggak berani, jarimu ada mata ikan terus dong, nggak dioperasi sama saya.”
“Ah, iya juga, dok”, kataku mengiyakan. Dulu saat kelas lima SD, aku harus menjalani operasi kecil buat ngilangin mata ikan.
Percakapan kecil itu jadi momen pertama aku ketemu dokter Soe setelah sekian lama, sekaligun jadi momen yang terakhir.
Di tahun 2023, beliau meninggal karena kecelakaan tunggal di Madiun. Aku baru dengar kabar kepergiannya baru-baru ini dari ibuku. Sedihnya seperti kehilangan saudara yang tidak sedarah.
Rest in Peace, dok. Terima kasih udah bantuin ibu dan Peni.

