diary and blog
Jurnal Harian,  Mental Health,  Self Awareness

[PART 2] Antara Gambar dan Kata – Dari Coretan ke Kalimat

Kalau menggambar adalah cara pertamaku mengekspresikan diri, maka menulis datang kemudian. Awalnya hanya coretan kecil, tapi lama-lama berubah menjadi sesuatu yang lebih berarti.

Tetapi, semakin bertumbuh, aku semakin menjadi sesosok perempuan dewasa muda yang semakin menyukai merangkai kata-kata. Kata-kata yang awalnya hanya sekadar mencatat kejadian sehari-hari, kini berubah menjadi cermin yang memantulkan isi kepalaku—segala kegelisahan, harapan, dan luka-luka yang mungkin tak bisa aku ungkapkan dengan suara.

Tidak hanya itu, perjalanan menulisku memantik kemampuan baru, baik dalam segi skill, maupun pemahaman secara personal. Hal ini membuat menulis menjadi perjalanan yang sangat transformatif—sebuah proses yang bukan hanya tentang menyusun kata-kata, tetapi juga tentang menemukan dan memahami diriku sendiri.

Dari Satu Dua Kata Menjadi Rangkaian Kalimat

Sebenarnya, aku tidak ingat pasti dari mana awal aku suka menulis. Yang aku ingat, awalan kepenulisanku diawali dengan sekedar menulis amarah untuk orang-orang yang menurutku menyebalkan: temanku, keluargaku, atau saudaraku yang julid.

Semua bermula dengan cara merobek kertas dan menulisnya dengan amarah. Biasanya, aku merobek tepat di tengah kertas, agar bisa dapat dua lembar sekaligus. Lalu bagian tengah kertas itu aku robek jadi dua lembar: satu lembar untuk aku tulis, satu lembar lainnya untuk aku gambar atau aku buat jadi pesawat kertas.

Satu lembar khusus aku tulis itu untuk mengata-ngatai sebebasku, tapi masih aku campur dengan gambarku yang asal-asalan. Aku akan menggambar wajah jelek, yang ditujukan untuk orang yang membuatku kesal, tidak seperti aku menggambar seperti biasanya: garisnya rapih, berwarna, enak dilihat.

Tulisan amarah

Sebagai anak SD yang sering dikerjai orang, aku hanyalah sesosok anak kecil dengan kosa kata yang belum terlatih secara tekstual. Dengan kertas lembar yang aku robek, aku menumpahkan kekesalanku dari kata per kata. Dari umpatan, sumpahan, amarah, semua aku tulis sambil menekan pulpen, sesuai dalamnya amarahku.

Semakin lama, aku semakin bisa menulis satu kalimat berbentuk protes. Lama kelamaan, aku bisa menulis satu sampai dua kalimat. Semua kalimat hanya berbentuk protes agar mereka tidak menggangguku lagi. Akhirnya, hal ini berlanjut menuju menulis berparagraf.

Tren Bertukar Loose Leaf Lucu

Ingat masa kecil SD, saat loose leaf lagi ngetrennya. Bagi Gen Z yang pernah bertukar loose leaf, pasti tahu trend loose leaf ini. Waktu itu, banyak loose leaf bergambar kartun yang lucu dan warna-warni. Apalagi loose leaf dari merk Harvest – merk loose leaf dengan kualitas kertas dan gambar terbaik – dibanding merk loose leaf yang lain. Kalau sudah punya banyak loose leaf bermerk Harvest di bindernya, sudah pasti dianggap “anak orang kaya”, karena dari segi harga pun loose leaf merk itu tergolong lebih mahal dibanding merk lain.

Waktu itu, aku tidak punya binder dan tidak punya uang untuk membelinya. Jadi, abangku memberiku loose leaf yang sudah tidak dia pakai lagi. Akhirnya, binder itu jadi milikku. Sebelum mulai bertukar loose leaf, aku isi dulu bindernya dengan loose leaf polos berawarna putih, agar setidaknya binderku berisi, karena sedikit sekali loose leaf di dalamnya.

Loose leaf

Aku selalu membawa binderitu tiap hari untuk bertukar loose leaf. Biasanya, masing-masing akan memberi satu sama lain: untuk loose leaf bertema girly, biasanya aku dapat dari teman sesama perempuan, sedangkan loose leaf bertema kartun cowok atau band, berarti aku dapat dari teman laki-laki.

Saat itu, tidak hanya ada kertas loose leaf bergaris, ada juga loose leaf untuk biodata, yang kertasnya lebih tebal. Untuk loose leaf bergaris, aku gunakan sebagai media menulis diary. Untuk loose leaf biodata, aku akan menulis biodata seperti nama, tempat tanggal lahir, dan zodiak.

Iseng Menulis Cerita Lucu

Rasanya sayang jika binder dengan berbagai jenis loose leaf yang lucu-lucu ini aku biarkan saja jadi koleksi. Akhirnya, aku memutuskan untuk menulis di beberapa lembarnya. Tetapi, aku memutuskan untuk menulis di lembar loose leaf yang bermerk biasa – bukan merk Harvest – karena sayang dengan kualitas loose leaf-nya yang bagus dibanding yang lain.

Aku mulai menulis diary di tahun 2008. Waktu itu, aku menulis tentang kejadian kaki temanku yang tidak sengaja terikat dengan gesper. Menurutku, kejadian itu adalah kejadian yang paling lucu yang pernah aku lihat saat SD. Jadi, sebagai awalan menulis, aku menulis kejadian itu. Semakin banyak kejadian konyol di sekolahku, aku semakin sering menulisnya, walau ada beberapa yang tidak kutulis.

Saking penuh kekonyolannya sekolahku, aku jadi sering menulis tentang itu di kelas. Jadi, aku sering membawa binderku ke sekolah, tetapi karena temanku sering mengerjaiku dengan mengintip binderku, aku memutuskan untuk meninggalkan binderku di rumah. Maka dari itu, aku selalu menulis hari-hariku di rumah sepulang sekolah.

Mulai Menulis Kesedihan

Tidak hanya menulis cerita lucu, aku juga jadi berani menulis tentang kejadian menyedihkan, baik kejadian menyedihkan di rumah maupun di sekolahanku. Kali ini, aku tidak menulis satu dua kata yang hanya mengandung umpatan atau sumpah serapah. Dari satu dua kata yang menusuk dan mengandung amarah, menjadi pengembangan kalimat yang deskriptif tentang emosiku.

Hal ini membuat tulisanku semakin terstruktur, dari kalimat menuju kalimat, hingga dari paragraf menuju paragraf. Kemampuan menulisku semakin kaya akan kalimat yang lugas. Tidak hanya sekedar umpatan amarah yang tidak berarti dan terkesan menyerang orang.

Tetapi semakin lama, aku sadar tidak mau terus-terusan melihat tulisan sedihku. Jadi, aku membuat pembatas binder dengan kategori tulisanku, seperti “Cerita lucu”, “Cerita menyebalkan”, dan “Cerita menyedihkan. Jadi, aku memisahkan tulisan cerita sedihku di urutan paling belakang, bahkan aku tidak memasang kertasnya lagi di ring binderku.

Setelah itu, aku jadi makin jarang menulis diary, apalagi menulis tentang kesedihan.

Inspirasi Menulis

Meskipun masih buta dalam mengolah kata-kata, aku berusaha mencari contoh sebagai inspirasiku dalam menulis. Aku mulai tertarik dengan buku, yang berawal dari keterpaksaanku karena harus mengalihkan perhatian dari percekcokan rumah yang penuh kekerasan.

Saat menyelami buku, aku merasa ternyata dunia literasi itu bisa asyik dan insightful, dimana menjawab semua ketidaktahuanku atau mengasah daya imajinatifku.

Terinspirasi dari Buku

Di samping menulis, aku juga suka membaca buku. Saat SD, aku suka membaca buku cerita bergambar, berkat hadiah dari susu Dancow atau Frisian Flag. Aku juga pernah mengoleksi seri cerita bergambar berjudul “Cintamia” yang kudapat dari hadiah chiki. Seperti yang sudah diesbutkan sebelumnya, aku adalah orang yang visual, sehingga aku menyukai buku bergambar.

Selain itu, aku juga suka membaca buku ilmu pengetahuan. Maka dari itu, aku juga suka membaca buku cetak pelajaran sekolah, terutama buku IPA. Aku sering curi-curi waktu untuk membaca buku, jika aku mulai bosan saat kelas atau saat menggambar.

Makin beranjak, aku menyukai komik manga khas Jepang, yang kubeli di toko buku terdekat. Aku suka dengan gaya visual khas manga, dengan ekspresi wajah yang sering dilebih-lebihkan. Terkadang, narasi percakapan dengan ekspresi wajah yang hiperbolik membuatku bisa merasakan feelnya saat membaca.

Beranjak kelas enam SD, aku mulai membaca novel karena melihat teman-temanku yang suka membaca novel KKPK. Tetapi, mereka tidak pernah meminjamkannya kepadaku. Maka dari itu, aku berpikir untuk membeli novel yang berbeda dari mereka. Akhirnya, aku membeli buku ‘Semester Pertama di Malory Towers’ karya Enid Blyton dan buku ‘The Secret Garden’ karya Frances Hodgson Burnett yang aku beli di Gramedia.

Saat aku membaca buku ‘The Secret Garden’ di kelas, guru Bahasa Inggrisku tertarik untuk meminjamnya, dan ia belum mengembalikannya sampai sekarang. Untungnya, aku masih punya buku ‘Semester Pertama di Malory Towers’ dan aku berhasil menyelesaikannya.

Terinspirasi dari Blogger

Selain komik bergambar dan novel anak-anak, akhirnya aku mulai iseng mencoba novel remaja. Aku mulai membaca novel milik abangku yang berjudul ‘Manusia Setengah Salmon’ karya Raditya Dika.

Saat aku baca profil penulisnya, Raditya Dika sudah menulis seri buku ‘Kambingjantan’. Semua tulisannya bergaya jurnal harian dengan pembawaan yang humoris dan casual, dimana genre penulisan tersebut terbilang fresh untuk masa awal tahun 2000-an.

raditya dika
Raditya Dika
sumber: detik.net.id

Selain itu, dia mengawali karir menulisnya sebagai blogger yang beralamat www.kambingjantan.com, yang sekarang sudah berubah menjadi radityadika.com. Blognya pun memiliki banyak pembaca yang menikmati cerita jurnal hariannya, hingga ia menerima penghargaan bertajuk The Online Inspiring Award 2009 dari Indosat.

Membaca perjalanan karier dan karyanya membuatku makin bersemangat dalam menulis. Terutama menulis tulisan bergaya jurnal harian, yang ternyata bisa membawa orang menuju kesuksesan hingga dikenal semua orang.

Materi Bahasa Indonesia

Memasuki SMP, terdapat materi Bahasa Indonesia tentang menulis buku harian. Guru Bahasa Indonesia – Bu Dini – menyuruh kami untuk membeli buku diary baru, lalu menulis diary di buku tersebut untuk dinilai. Dari itu, aku kembali lagi ke menulis diary, meskipun pada akhirnya perkataan guru tersebut hanya menjadi wacana.

Aku membeli buku diary kecil dengan hard cover di Toko Setia Kawan. Tulisan pertama di halaman tersebut adalah tentang pertama kali aku terlambat sekolah. Aku memulai halaman pertama diary tersebut yang berkisah di sekolah karena aku pikir, diaryku akan benar-benar di nilai. Nyatanya, tidak sama sekali.

Meskipun begitu, aku jadi suka lagi menulis. Aku sering menulis hari-hariku secara rutin hampir setiap hari. Mulai menulis hari-hariku yang menyenangkan, absurd, biasa saja, sampai menyedihkan.

Patah Hati Terdalam

Di masa itu juga aku merasakan jatuh cinta yang pertama kali dengan kakak kelas. Aku pertama kali bertemu dia di ruang ujian, dan dia duduk tepat di sebelahku. Interaksi pertama berawal dari secarik kertas yang menanyakan rumus matematika kepada dia. Meskipun dia menjawab dengan asal-asalan, tetapi aku senang sekali dapat respon dari dia.

Bagai cerita cinta monyet pada umumnya, ketertarikan itu hanya sebatas fisik, padahal belum mengenal dia lebih dalam. Tetapi, aku sudah tergila-gila kepadanya. Setelah momen ujian kelas 8 dan 9 selesai, dan dia menghadapi berbagai ujian kelulusan, aku sempatkan diri untuk curi waktu demi melihat dia sebelum dia lulus. Melihat dia pun sudah senang sekali, apalagi di notice dia.

Saat aku naik kelas, dia pun lulus SMP. Hal itu jadi patah hati terdalamku. Aku berandai-andai untuk bertemu dia lagi di masa depan. Sampai menjelang lulus pun, aku hampir tiap hari menulis tentang itu.

Gap Moment yang Terlupakan Berkat Menulis

Dari patah hati itu, aku meluapkan semua kesedihanku di atas diary. Sesekali aku juga menggambar untuk meluapkan kesedihanku, tetapi aku merasa menulis tidak perlu teknik menggaris atau mewarnai agar terlihat jelas emosi apa yang aku rasakan. Aku hanya perlu merangkai kata-kata, berkat hobiku yang juga suka membaca buku. Maka dari itu, aku lebih baik menulis saja.

Semua kesedihan akibat dari patah hati itu aku tulis hampir setiap hari. Lembar demi lembar hanya untuk menulis tentang kehilangan dia. Kadang, aku selipkan gambar kecil di bawah halaman diary yang aku tulis, yang menggambarkan kesedihan dan kesepian.

Semua emosi yang aku rasakan kuluapkan tanpa jeda, murni dari emosi terdalamku. Hingga beberapa tahun kemudian, aku merasa ada momen yang tidak aku ingat dan kurasakan lagi. Ternyata, itu adalah momen patah hatiku yang sudah tidak menggangguku lagi, karena aku sudah puas menulis itu sebanyak-banyak di diaryku.

Ternyata, menulis adalah salah satu cara yang memuaskan dan ampuh untuk melupakan momen yang menyakitkan. Dari lembar ke lembar, semua aliran emosi menyakitkan itu bertumpah ruah hingga habis di tangki emosiku, sehingga aku dapat melupakan hal menyakitkan itu.

Mengenal Dunia Blogging

Setelah selesai dengan masa patah hatiku, aku mendapat insight tentang blogging dari sepupuku saat kami kumpul keluarga. Ia punya blog sendiri untuk wadah memamerkan karya remix lagu buatan dia. Kadang dia juga menulis artikel, tapi blognya difokuskan untuk format lagu.

Dia mengenalkanku dunia internet dan konten, terutama tentang blogging. Saat dia membuka blog dan mengupload lagu remix buatannya, muncul rasa ingin tahuku mengenai dunia blogging. Dia menjelaskan tentang bagaimana cara membuat blog dan menulis artikel di blog sendiri. Tidak cuma itu, dia juga menjelaskan, kita juga bisa upload file apapun yang ingin kita pamerkan.

Setelah menjelaskan tentang blogging, ia juga menjelaskan, kita bisa memonetisasikan blog dan dapat uang dari Google dengan memasang iklan, asalkan konsisten mengelola blog dan membuat artikel. Sebuah harapan klise yang banyak orang dambakan dengan iming-iming uang. Maka dari itu, aku mencoba membuat blog sendiri di platform Blogger.

Membuat Akun Blogger

Setelah berhasil membuat akun Blogger, aku bingung harus menulis apa di blogku. Aku mulai berselancar di media sosial bernama Google Plus. Ternyata di sana banyak blogger yang saling mempromosikan artikel mereka. Aku klik satu per satu artikel mereka. Setelah itu, aku terinspirasi untuk mengetik.

Waktu itu, banyak sekali blogger yang aktif menulis artikel dan saling berinteraksi satu sama lain. Tetapi yang aku ingat, aku pernah melihat postingan dari Ust. Felix Siauw dan Indah Julianti Sibarani. Setelah melihat contoh blog mereka, aku jadi bersemangat untuk mengelola blogku.

Aku mulai belajar membuat artikel dengan mengetik ulang artikel dari majalah ayahku. Waktu itu, aku mencoba mengetik dua artikel, yang notabene panjangnya mengandung 2-4 halaman. Tidak ada tulisan yang mengandung pemikiranku sendiri, semuanya benar-benar copas.

Setelah berhasil membuat artikel, aku mencoba mengutak-atik blogku dengan mengubah tema, menambah widget yang diedit dari HTML, dan mengubah struktur blog. Dari keingintahuanku ini, aku rela menghabiskan waktu di depan laptop sampai larut malam demi mengedit blog, agar blogku terlihat lebih lucu dan interaktif.

Tugas Membuat Blog

Memasuki kelas sembilan, guru TIK aku membuat tugas untuk membuat blog pribadi, boleh Blogger atau WordPress. Lalu, kami harus membuat sepuluh artikel atau berjualan produk di situ. Jika ada yang membeli produk di blog kita, kita akan dapat nilai plus, dengan syarat memberi bukti transfer dan bukti chat transaksi.

Aku ingat, aku punya akun blog yang belum tahu harus diapakan lagi, setelah puas mengedit tampilan blog. Sebenarnya, aku sudah punya akun Blogger dari kelas tujuh, dan aku memulainya dengan menulis artikel yang aku tulis ulang dari majalah dan artikel dari website lain. Maka dari itu, aku merasa dapat insight sedikit dalam memanfaatkan platform Blogger milikku.

Akhirnya, aku menulis lagi blogku dengan artikel yang aku dapat dari web lain. Tetapi aku tambahkan dan koreksi sedikit agar terlihat berbeda.

Menulis artikel di blog

Kembali Menulis Diary

Setelah lulus SMP, aku tidak tahu harus menulis apa lagi di blog, karena tidak ada tugas mengenai blog lagi. Sifatku yang makin idealis juga membuatku enggan menulis ulang artikel dari website lain. Aku tidak mau blogku berisi artikel yang hanya sekedar daur ulang dari artikel lain.

Maka dari itu, aku kebingungan untuk mulai menulis. Jadi, aku kembali menulis diary lagi. Seperti biasanya, aku menulis hari-hariku, baik yang menyenangkan, maupun yang menyedihkan. Bedanya, kalimatku semakin teratur dan ekspresif. Kadang aku tambahkan detail gambarku sendiri, bahkan aku juga mencetak foto momen tersebut.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, aku adalah orang yang visual. Aku makin menghargai momen yang aku abadikan di hapeku, dengan mencetaknya di diaryku. Aku tidak mau kehilangan cerita momen jepretanku.

Fokus Menulis Sambil Mengasah Skill Bahasa Inggris

Suatu hari, aku kesal dengan ibuku karena suatu permasalahan. Aku pun menulisnya di diary, tapi sayangnya, aku lupa menutup bukunya, sehingga dibiarkan terbuka begitu saja. Ternyata ia masuk ke kamarku untuk menawariku makan, lalu tanpa sengaja ia membaca diaryku yang berisi kritik terhadap ibuku.

Semenjak itu, aku terpaksa mulai menulis dalam Bahasa Inggris, agar banyak yang tidak paham diaryku, mengingat di sekitaranku banyak yang tidak bisa Bahasa Inggris. Dengan modal pernah menulis essay dalam ujian saat les Bahasa Inggris, aku mulai menulis hari-hariku dalam Bahasa Inggris.

Diary dalam Bahasa Inggris

Aku memulainya dengan menulis kalimat yang pendek. Lama kelamaan, aku mampu menulisnya dengan kalimat panjang, hingga berlembar-lembar. Dengan modal kamus Alfalink atau buku ‘Kamus Inggris-Indonesia 1 Milyar’, aku mulai mengeksplorasi penulisan dengan bahasa Inggris sampai mahir. Hal ini bahkan masih aku lakukan sampai sekarang.

Vakum Nge-Blog Selama 8 Tahun

Sayangnya, karena sudah keasyikan menulis diary dan tidak tahu mau menulis apa. Aku merasa tidak punya ide lagi untuk menulis. Kebetulan, saat itu aku memasuki SMA, dimana tugas dan kegiatan ekskul semakin padat.

Hal ini berlanjut sampai aku kuliah, dimana tugas perancangan arsitekturku semakin berat. Hal ini membuatku tidak fokus lagi untuk menulis blog, tetapi aku masih fokus menulis di buku diary.

Di waktu vakum ini, aku belum kepikiran untuk menulis diary di blogku. Aku merasa diaryku seharusnya bersifat rahasia, tidak boleh ada orang yang tahu. Maka dari itu, blogku terbengkalai.

Kembali Lagi ke Blog

Saat pandemi tahun 2020, aku merasa ingin membagikan tulisanku lewat blog yang sudah lama tidak kukelola selama tujuh tahun. Hal ini karena kegabutan di masa PSBB yang memaksa semua orang untuk berinteraksi secara virtual dan berkreasi secara digital. Masa itu menjadi batu loncatanku dalam dunia digital creative dalam menulis

Aku mulai menulis blog lagi. Kali itu, aku berpikir untuk menulis diaryku di sana. Dari cerita saat magang, hal-hal horror, sampai cerita abuse mantanku. Kadang, aku juga mengupload hasil gambar tanganku di blog, seperti membuat galeri virtual.

Ternyata, mantanku sadar kalau aku menulis tragedi itu dan ia tidak terima. Akhirnya, aku terpaksa menghapus semua tulisanku, mengingat mantanku adalah orang yang abusive dan suka membuat keadaanku terpojok, karena aku masih ingin hidup selamat. Alhasil, nyaris semua artikel aku hapus tanpa aku seleksi, sehingga hanya tersisa satu artikel ‘best selling’ aku. Padahal, aku sudah mendapat traffic ribuan bacaan.

Fokus Menulis Saat Mengalami Kegagalan

Setelah wisuda, aku merasa gagal di bidang kuliahku karena faktor kesehatan, dimana aku mengalami cedera kepala dan punggung dalam waktu bersamaan. Hal ini juga yang mengharuskan aku banyak istirahat selama dua tahun, agar tidak merasa sakit lagi. Karena waktu selama itu juga, aku tidak punya waktu lagi untuk membenarkan portofolio arsitekturku lagi.

Portofolio arsitekturku juga kacau. Karena saat aku kuliah, aku menjalin hubungan dengan mantanku yang abusive, dan sering menyalahkanku saat keadaan pribadi dia memburuk. Terlebih, kami sering bercekcok karena dia kurang bisa mentoleransi keadaanku yang sangat sibuk menjelang penilaian perancangan. Hal ini juga yang berimbas ke psikologisku yang berpengaruh terhadap performa kuliahku.

Aku juga mengalami dilema saat menerusi bisnis orangtuaku. Penyebabnya, aku sudah memimipikan bekerja sendiri, bahkan ke luar kota. Aku sudah mencoba untuk masuk ke dunia bisnis mereka, tetapi aku merasa kreatifitas dan kekritisanku tidak terasah di sana. Aku harus menurut pada sistem yang mereka buat sendiri tanpa boleh menyanggah, karena mereka menganggap ‘anak harus nurut sama orang tua’, sebuah pemikiran kolot yang masih mereka anut. Maka dari itu, aku merasa tidak cocok saat bekerja di bisnis orangtuaku sendiri.

Dari kegagalan itu, aku jadi menderita depresi sampai rawat jalan psikiater. Maka dari itu, aku mulai menulis lagi, sebagai refleksi kehidupanku seperti yang biasa aku lakukan dulu. Akhirnya, aku mengelola skill menulisku lagi dengan belajar SEO dan mengelola websiteku sendiri.

Menulis sebagai Sarana Penyembuhan

Aku sadar, saat aku menulis di kala mengalami kegagalan, banyak hal yang bisa aku refleksikan: Aku bisa menemukan akar permasalahanku dan memisahkan benang kusut permasalahanku, sehingga aku bisa mencari solusinya. Hal ini dapat membantuku berpikir jernih dalam menghadapi persoalan.

Tidak hanya itu, menulis saat mengalami kegagalan juga menjadi sarana yang menyembuhkan secara psikologis, di saat orang-orang sudah menemukan jalan hidup dan kesibukannya masing-masing. Apalagi saat menderita depresi, aku dapat mengelola stressku secara sehat hanya dengan menulis.

Terkadang, orang-orang menganggap menulis buku harian itu berarti belum selesai dengan masa lalu. Justru dari masa lalu itulah aku bisa merefleksikan apa yang telah terjadi dalam diriku, sehingga aku bisa mengambil benang merah dari kejadian yang sudah terjadi. Selain itu, menulis juga kegiatan yang positif dalam menuangkan emosi, baik emosi negatif maupun positif. Sehingga aku bisa jujur terhadap diriku sendiri.

Menjadi Sarana Storytelling

Semakin lama, aku sadar skill menulisku bisa menjadi sarana storytelling, yang bisa menginspirasi orang-orang yang sesama hobi menulis. Maka dari itu, aku menyesuaikan skill menulisku sebagai sarana storytelling. Kali ini, aku ingin ceritaku dibaca orang-orang dan bermanfaat untuk mereka. Aku ingin tulisanku menjadi ruang refleksi bagi pembaca, tempat mereka menemukan makna, memahami diri sendiri, atau sekadar merasa bahwa mereka tidak sendirian. Jika ada satu hal yang bisa kutinggalkan dalam setiap kata yang kutulis, aku ingin itu menjadi kehangatan—sebuah cerita yang bisa menemani, menginspirasi, dan terus hidup dalam benak mereka.

Storytelling bukan sekadar menceritakan sesuatu secara kronologis, tapi bagaimana membuat pembaca ikut hanyut di dalamnya. Aku mulai mempelajari bagaimana struktur cerita bekerja, bagaimana konflik dan emosi bisa menarik perhatian, serta bagaimana membangun narasi yang hidup. Selain itu, aku juga belajar dari buku-buku yang kubaca, dari film yang kutonton, dari cara orang-orang berbicara. Aku menyerap semuanya, kemudian kucoba menuangkannya ke dalam tulisan-tulisanku.

Kesimpulan

Perjalanan menulis yang aku lalui bukan hanya sekadar perkembangan keterampilan, tetapi juga perjalanan menemukan dan memahami diriku sendiri. Dari coretan kemarahan di masa kecil, hingga tulisan-tulisan yang lebih reflektif dan mendalam, setiap kata yang kutulis menjadi bagian dari proses pertumbuhanku. Menulis telah menjadi tempatku meluapkan emosi, menyusun pikiran, dan memahami dunia di sekitarku dengan cara yang lebih jernih.

Dalam perjalanan menulis ini, aku menyadari bahwa menulis tidak hanya sekadar mencatat peristiwa, tetapi juga sarana untuk menyembuhkan. Saat mengalami kegagalan, kehilangan, atau tekanan, menulis membantuku memilah emosi dan menemukan solusi atas berbagai persoalan yang kuhadapi. Menulis menjadi bentuk terapi, membantuku melihat benang merah dari setiap kejadian dan memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang diriku sendiri.

Lebih dari sekadar ekspresi pribadi, menulis juga telah berkembang menjadi sarana storytelling yang bisa memberikan inspirasi bagi orang lain. Aku ingin tulisanku menjadi lebih dari sekadar refleksi diri, tetapi juga ruang bagi pembaca agar saling memahami, menemukan makna, atau sekadar mendapatkan hiburan. Dengan memahami struktur cerita dan membangun narasi yang kuat, aku berusaha menjadikan tulisanku lebih hidup dan berkesan.

Pada akhirnya, menulis bukan hanya tentang menuangkan kata-kata ke dalam halaman kosong, tetapi juga tentang membangun koneksi—baik dengan diri sendiri maupun dengan orang lain. Aku ingin terus berkembang dalam dunia kepenulisan, menjadikannya bagian dari perjalanan hidup yang terus berjalan. Menulis bukan lagi sekadar kebiasaan, melainkan bagian dari identitasku yang akan selalu ada dan terus berkembang seiring waktu.

4 Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *