Sepanjang Jalan Pantura: Sebuah Memori
Percaya deh, momen mudik yang paling mengesankan adalah ketika lewat jalan Pantura daripada lewat jalan tol. Kalau kalian ingin mudik dengan waktu yang singkat, mudik-lah lewat jalan tol. Tapi kalau kalian jiwa petualang dan ingin memperlambat waktu, mudik-lah lewat jalan Pantura. Banyak kenangan yang akan kamu alami selama perjalanan di jalan Pantura.
Mundur ke 10 Tahun yang Lalu
Di tahun 2014 ke belakang, kita mudik lewat jalan Pantura. Kita akan menempuh perjalanan selama dua hari menuju Pemalang, empat hari menuju Malang, dan enam hari menuju Jember ketika kita lewat jalan Pantura. Tempat dan kampungku tersebar dari ujung ke ujung pulau Jawa dan semuanya seperti tersambung melalui satu jalur besar ini.
Bagi aku, perjalanan lewat jalan Pantura adalah hal yang paling menyenangkan selama hidupku. Pergi lewat jalan Pantura itu seperti petualangan mengejar sinar kebahagiaan yang aku cari selama ini. Di pagi hari, mobil bergerak menuju timur seakan mengejar matahari terbit. Mobil berjalan menuju arah timur meninggalkan barat, tempat dimana aku tinggal di saat matahari tenggelam. Meninggalkan memori dan siap untuk mencari momen lain yang akan kudapatkan.
Perjalanan di Jalan Pantura
Perjalanan lewat jalan Pantura tidak selamanya mulus. Semua jenis kendaraan menyatu di jalan utama tersebut: motor, truk, mobil bak, mobil box, bis, bahkan bajaj. Jadi kalian tidak bisa berekspektasi lebih kalau jalan ini akan mulus seperti di jalan tol. Kamu harus siap untuk apapun yang akan terjadi di jalan: lewat jalan rusak, macet panjang, lewat pasar kaget, senggolan antar kendaraan. Tetapi di samping itu, jalan Pantura penuh memori.
Di dalam mobil, aku selalu duduk di dekat jendela sisi kiri. Aku suka duduk dekat jendela mobil sampai sekarang, karena bisa sambil melihat pemandangan selama perjalanan. Saking asyiknya melihat pemandangan, aku sampai tidak fokus dengan percakapan orang tuaku. Aku melihat pemandangan sawah, ladang, sungai, bukit, gunung, bahkan rumah.
Sebelum ada GPS atau Google Maps
Waktu itu, kita belum mengenal istilah Google Maps seperti sekarang. Kita baru kenal alat navigasi yang bernama GPS yang kita lihat di koran dan majalah. Bentuknya seperti tablet kecil, ukurannya sebesar tangan, dan diletakkan di dashboard mobil. Tetapi alat itu merupakan alat yang terbilang mewah untuk kita punya.
Maka dari itu, navigasi kita bermodalkan peta kertas. Jadi selama perjalanan, kita diberi peta manual pulau Jawa gratis oleh pos polisi setempat. Ayahku yang mengemudikan mobil, sedangkan aku dan kakakku yang membaca peta. Kita mencari jalur jalan yang akan kita lalui secara manual dengan menunjuk jalan.
Meskipun begitu, teknologi yang apa adanya pada masa itu sangat membantu kita: teks di layar hape kita akan menunjukkan kita sedang di daerah mana yang disediakan provider hape. Teks itu akan berubah jika kita melewati daerah lain. Jadi, kita tahu di mana kita berada.
Pemandangan Sepanjang Jalan Pantura
Di sepanjang jalan Pantura, salah satu kenangan unik mengenai rumah-rumah di sepanjang jalan tersebut adalah adanya cat iklan di kedua sisi rumah. Kebanyakan iklan rokok seperti rokok Sejati berwarna biru, rokok L.A. berwarna putih, atau Dji Sam Soe berwarna kuning. Selain itu, iklan jaringan telepon seperti XL berwarna biru, Telkomsel berwarna merah, Mentari dan IM3 berwarna kuning, atau Esia berwarna hijau. Kebanyakan dilukis di rumah dua lantai, sehingga orang bisa melihatnya secara luas.
Rumah dengan beranda yang luas membuatku bertanya-tanya bagaimana rasanya tinggal di pedesaan, seperti satu per satu rumah yang pernah aku lihat dan aku berpikir mungkin setiap keluarga mempunyai kebahagiaan yang berbeda-beda. Ketika mobil berhenti, aku melihat ke jendela rumah-rumah di dekatnya, bertanya-tanya tentang kegiatan menyenangkan apa yang baru-baru ini mereka lakukan. Kadang-kadang aku melihat mereka berkaraoke, mendekorasi kamar, menyapu lantai, menggendong bayi, dan lain-lain.
Di sepanjang jalan Pantura juga terpampang spanduk-spanduk rokok, jaringan telepon, dan iklan sarung yang tinggi dan besar. Kadang-kadang ditempatkan di pertigaan atau perempatan jalan, biasanya dengan pos polisi semi permanen di bawahnya, dan polisi mengawasi lalu lintas.
Ciri Khas di Jalan Pantura
Ketika kita hendak memasuki suatu daerah, pasti ada gapura yang membentang di dua jalan raya bertuliskan sambutan seperti “Selamat Datang di Tegal” dengan semboyan daerahnya. Pemalang mempunyai semboyan “Pemalang Ikhlas” Tak hanya itu, strukturnya memiliki dua sisi karena akan terlihat dengan arah berlawanan: untuk pintu masuk kawasan dan juga pintu keluar kawasan. Sehingga di baliknya akan terdapat kata-kata seperti “Sampai jumpa”
Jalan Pantura di Bawah Langit Malam
Di malam hari, lampu jalan yang berjajar rapih di antara dua ruas jalan raya akan menyala dengan lampu kuningnya. Biasanya, masing-masing daerah punya ciri khasnya sendiri dengan ornamen yang menggambarkan budaya atau motto daerahnya. Ada yang menggunakan ornamen batik, ada yang menggunakan lafadz Asma’ul Husna di sepanjang lampu jalan.
Terkadang di malam hari, diam-diam aku membuka sedikit kaca mobil hanya untuk melihat bintang sebentar. Karena aku suka melihat sesuatu yang bersinar dalam gelap, seperti bintang di malam hari. Bintang-bintang di desa tersebar tanpa batas hampir seperti galaksi, terlebih lagi jika Anda melihatnya di sawah. Terkadang aku melihat kunang-kunang, yang belum pernah aku lihat akhir-akhir ini. Aku merasa menjadi orang paling beruntung di dunia yang bisa melihat kunang-kunang yang seolah-olah akan punah saat ini.
Berbincang dengan Orang Baru
Sepanjang jalan Pantura, kita akan singgah di beberapa warung, tempat istirahat, atau rumah makan. Kita akan bertemu wisatawan lain, penduduk lokal, orang asing ramah yang menghangatkan hati kita setelah perjalanan panjang di dalam mobil selama berjam-jam. Kita biasa memulai percakapan secara acak dengan orang asing yang ada di sekitar kita, atau sebaliknya, lalu percakapan tersebut menyebar ke orang asing lainnya sehingga membuat percakapan menjadi panjang.
Terkadang, keberuntungan menghampiri kita. Bukan dalam bentuk materi seperti uang atau hadiah, melainkan harapan dan doa untuk kita semua yang datang dari orang-orang yang berhati hangat. Mereka akan tersenyum kepada kita dan berharap kita bisa tiba di kampung halaman dengan selamat. Terkadang juga, pemilik kedai makan yang berusia sekitar 50 tahun atau lebih akan tersenyum kepada kita dan berdoa agar kita panjang umur agar kita dapat mengunjungi restorannya lagi di kemudian hari.
Aku tidak pernah janji untuk datang lagi, tapi aku berdoa dalam hati agar mereka sehat dan bahagia selamanya. Di tahun-tahun itu, kita hanya bisa telpon manual atau SMS. Media sosial belum begitu dikenal, sehingga kita saling terhubung melalui doa. Kalau kita tidak bertemu lagi meski di media sosial seperti sekarang, mungkin kita bisa bertemu di surga nanti.
(Dipublikasi di Medium dalam Bahasa Inggris dengan judul yang sama)