foto di Pemalang desa Pesantren
Diary

Jalan Berbatu di Desa: Mengayuh Sepeda Menuju Kenangan Lama

Sehari setelah pernikahan sepupuku, aku merasa hampa. Semuanya terasa datar. Kemudian, rasa mual mulai menghampiri, tanda bahwa aku akan memasuki fase depresi. Aku teringat ucapan teman kuliahku, bahwa berolahraga adalah cara terbaik untuk mengusir depresi. Aku hampir jatuh ke jurang stres yang dalam, tapi aku berusaha mencegahnya.

Akhirnya, aku memutuskan untuk bersepeda. Kali ini bersama keponakanku, bukan dengan sepupuku seperti dulu. Berkunjung ke desaku, terutama ke Pemalang, selalu menjadi hal yang menyenangkan.

di Desaku, Pemalang

Di sana, aku memiliki sepupu yang seumuran dan yang lebih muda dariku. Kami sering bermain di teras rumah, bersepeda ke desa sebelah, bahkan sesekali kabur ke pantai Nyamplung atau Joko Tingkir. Aku sering merekam momen-momen itu dengan ponsel Sony Ericsson dan Nokia-ku, meskipun sebagian besar foto dan video tidak sengaja terhapus, menyisakan hanya beberapa kenangan.

Salah satu sepupu sebantaranku – sebut saja Linda – kami lebih mirip saudara kandung daripada sepupu. Karena kita sering kemana-mana bersama dan kompak memakai baju yang sama.

Sebenarnya, aku ingin naik sepeda lama yang ada keranjang depan untuk bernostalgia, seperti sepeda yang sering kami pakai untuk main dulu. Tapi sepeda itu rusak. Mereka menyarankan untuk menggunakan sepeda baru yang mereka dapat sebagai hadiah dari perayaan Agustusan tahun lalu. Saat itu juga aku pertama kali naik sepeda gunung.

Perasaanku saat itu serupa dengan roda sepeda yang berputar cepat di bawahku. Kemudian, aku melewati jalan penuh bebatuan, dan seolah-olah tombol “mundur” di otakku tertekan, memutar kembali kenangan lama seperti DVD player.

Kenangan saat Kami Bersepeda Bersama

Waktu aku dan Linda masih kecil, kami sering bersepeda di jalan berbatu. Kami mengendarai sepeda berwarna pink dan merah dengan keranjang hitam di setangnya. Rambut hitam panjang kami berkibar saat bersepeda. Linda selalu menggunakan penjepit rambut berbentuk bintang, sedangkan aku yang tomboy ini tak pernah mengenakan aksesori feminin karena menurutku pakai jepitan itu culun dan tidak keren.

Kami sering berkeliling melihat sawah. Para petani terlihat sedang menanam benih padi. Orang-orang dengan sepeda tua atau motor Astrea mereka, membawa karung atau sayuran. Melihat barisan bebek berjalan rapih dengan peternaknya di belakang. Lalu kami melewati rumah di mana ibu-ibu atau nenek-nenek berkebaya menyapu halaman. Anak-anak bermain di luar rumah tanpa gadget atau smartphone.

Terkadang, kami masih bersepeda meskipun hari sudah senja. Kalau malam, kami menggunakan dinamo botol yang terpasang di sisi roda depan sepeda untuk menerangi jalan. Saat sepeda bergerak, roller dinamo berputar dan menghasilkan listrik yang menyala.

Selain bersepeda, aku juga suka menggambar. Sementara Linda tidak bisa menggambar, dia sering memintaku membuat gambar. Terakhir kali, dia memintaku menggambar karakter komik Bubbles dari Powerpuff Girls Z. Saat itu, kami sedang berselisih, tapi aku hendak pergi ke Jakarta, jadi aku menuruti permintaannya. Aku menulis “maaf ya mbak” dan menggantung gambar itu di dinding.

Orang Dewasa yang Masih Ingin Bermain

Namun, kenangan hanya sekadar kenangan. Seindah atau sepedih apa pun itu, kenyataan selalu memaksa waktu untuk terus berjalan. Pada akhirnya, kita akan memilih jalan hidup masing-masing. Aku lelah menyadari betapa cepatnya waktu berlalu, seolah aku sedang menyangkal kenyataan yang ada.

Sekarang, Linda sudah menikah. Kami tak lagi anak-anak. Dia sudah dewasa, sementara aku masih merasa seperti anak kecil yang ingin terus bersepeda, melupakan berjalannya waktu. Maka, aku pun melanjutkan mengayuh sepeda baru bersama keponakanku yang masih kecil.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *