
Bangkit Lagi di Umur 24
Setiap orang punya momen gagalnya masing-masing. Cobaan datang silih berganti, sampai hidup itu kerasa berat banget untuk bangkit. Di hidup ini, siapa yang merasa nggak pernah gagal? Anyone?
Well, kegagalan itu terjadi sama aku di tahun 2021, tepatnya saat aku berumur 22 tahun. Di tahun itu, aku mengalami dua cedera: cedera kepala dan cedera punggung. Dua cedera yang menahun itu selain bikin tubuhku tergeletak nggak berdaya, bikin aku depresi juga.
Dari situ, hidupku seolah di-pause. Semua rencana masa depan, impian, dan rasa percaya diri aku rasanya lenyap begitu aja. Tapi dari keterpurukan itu, aku mulai memaksa diri aku untuk bangkit lagi dan mengenal ulang siapa diri aku.
Tulisan ini adalah dokumentasi perjalananku, dari seorang perempuan yang mulai ngerasa “cacat” karena cedera, sampai sembuh dan bangkit lagi.
Berawal dari Cedera
Aku habis buka Notes di hape, lalu nggak sengaja berhenti di note berjudul “Sembuh”. Note itu aku tulis di tanggal 26 Desember 2021 sambil terbaring lemah nahan sakit kepala karena cedera kepala dan memakai lumbar corset karena ada cedera punggung juga.

Di awal Desember 2021 itu, kepala belakangku, tepatnya di sisi kiri di bawah telinga, terbentur rak besi waktu pembukaan cabang toko kedua milik aku. Nggak cuma cedera kepala, di bulan Februari 2021, aku juga ada cedera punggung karena kecelakaan saat naik Transjakarta. Aku terpental ke depan dan punggung bawahku terbentur ke pembatas kaca.
Dari dua cedera itu, aku istirahat hampir tiga tahun. Aku memang sempat ke toko, tapi sakitnya lebih sering kambuh dan harus pulang ke rumah. Alhasil, bisa dibilang, mostly aku menghabiskan waktu tiga tahun itu dengan istirahat.
Selain itu, aku sempat dilema antara lanjut toko atau cari kerja. Karena udah niat ingin mandiri sedari SMP, aku berniat cari kerja. Sayangnya, portofolio arsitektur semasa kuliah kurang bagus.
Rencananya setelah sidang TA, aku mau revisi dan bikin portofolio arsitektur aku buat lamar kerja. But, you know, gimana nonstopnya kerja anak arsi kalo udah urusan perancangan sampai begadang.
Realita tersebut sangat kontradiktif dengan keadaan kesehatan aku, yang harus banyak istirahat karena mengalami dua jenis cedera. Mengingat realita tersebut, aku mulai nyalahin diri sendiri dan keadaan. Aku makin sedih dan stress.
Di tahun 2021 itu, aku tertimpa sial. Tapi, aku menetapkan target. Sebelum mencapai umur 24, apakah mungkin aku bisa sembuh dan bangkit lagi?
“Cedera Psikologis”
Melihat dua realita yang kontras itu – portofolio arsitektur yang kurang bagus dan kesehatan yang entah kapan membaik, hal itu berimbas ke psikologis aku yang makin menurun. Dari cedera kepala, lalu ke cedera punggung, hingga akhirnya mengalami ‘cedera psikologis’.
I named it as ‘cedera’ again, setelah dua cedera yang banyak orang ketawain karena nasibku kayak “Sudah jatuh, tertimpa tangga pula”. Jadi, ya sekalian saja pakai istilah cedera, biar tertimpa sial sekalian. Memang pada dasarnya ketimpa sial juga, toh? Oke, kamu boleh ketawa sekarang. Haa-haa-haa.
Bayangin, aku udah nggak bisa duduk lama lagi kayak pas kuliah dulu. Setelah kecelakaan itu, aku duduk harus pakai lumbar corset. Selain itu, kalau nyeri kepalaku kambuh, aku harus kompres es batu.

Aku juga harus banyak tidur karena kemampuan kognitif otak aku jadi terbatas. Kadang buat mikir aja otak udah capek. Aku juga sempat lupa banyak hal, bahkan pernah lupa nama orang yang aku kenal. What a nightmare! Ini realita yang benar-benar nggak pernah aku bayangin sebelumnya.
Ngelihat teman-teman yang sehat walafiat sampai bisa kerja ke luar daerah, aku mulai ngebandingin diri sendiri: apakah berarti aku ketinggalan dari temen-temenku yang lain, yang kerja selinear dengan jurusannya? Eventually, I felt worthless. “Gila, gue ketinggalan jauh banget. Yang lain bisa kerja ke luar daerah dan jalan-jalan, gue malah terbaring sakit di sini” batinku.
Padahal, aku dulu bisa sampe begadang buat bikin gambar kerja, bikin 3D bangunan, maket, baca buku, atau menggambar bebas. Setelah cedera, aku cuma bisa terbaring di tempat tidur nunggu sembuh. Apa nggak stress ngebandingin kehidupan dulu dengan kehidupan saat sakit itu?
Karena stress dan sering nyalahin diri sendiri, lama-lama aku kena depresi. Akhirnya, aku memutuskan untuk pergi ke psikiater di tahun 2023.
Berhenti Minum Obat
Obat saraf udah pernah aku konsumsi saat cedera kepala. Setelah didiagnosis depresi, aku minum obat penenang dan obat tidur. Dari obat ke obat lagi. Lama-lama aku muak minum obat. Maka dari itu, aku berniat untuk stop ke psikiater.
Selain karena nggak mau ketergantungan obat lagi, aku juga ngerasa beberapa solusi dari psikiater nggak relevan buat aku. Padahal, aku sempat ngeprint sepuluh jurnal tentang depresi buat diskusi sama psikiater. Aku mencari argumen yang kira-kira bisa memuaskan harapan aku untuk sembuh. Tapi akhirnya nggak aku baca juga, karena udah rencana stop konsul duluan.
Di bulan ketiga dan jurnal kelima, aku memutuskan untuk stop ke psikiater. Akhirnya, aku harus memikirkan solusinya itu sendiri.
Keputusan itu bermula dari percakapan kita di bulan ke dua aku kontrol. Waktu itu, psikiater aku nanya “Kamu suka nulis jurnal gitu nggak, Veni?”
“Iya, dok. Suka. Saya udah nulis empat buku”
“Wow, banyak, ya”, kata psikiater sambil ngetik di komputernya.
“Sebenarnya lima, dok. Tapi karena satu buku itu hilang, jadi ya saya hitung yang masih ada aja”
“Kamu udah bisa nulis sebanyak itu, kenapa nggak coba nulis buku aja?”
Aku berhenti jawab dan mikir. Aku pernah baca seorang penulis yang karyanya dibajak. Dia juga yang nulis tentang nggak adilnya hukum di negara ini dalam melindungi karya penulis dari pembajakan. Tapi, pikiran ini nggak aku sampaikan. Aku cuma bilang “Pengen sih, dok. Tapi kayaknya saya nulis diary dulu”
“Nah, boleh tuh”, kata psikiater sambil senyum.
Dari percakapan itu, sepertinya aku udah nemu solusinya: mungkin aku harus nulis lagi. Dari momen ini, aku harap aku masih punya kesempatan untuk bangkit lagi sebelum umur 24.
Antara Idealisme vs Kebutuhan
Sepertinya kedengeran idealis dan nggak bisa nerima kenyataan. Tapi, nyatanya, aku udah kebiasa mengeluarkan karya sedari kecil. Hal itu bikin aku ngerasa “I am not Veni anymore like I used to” saat aku cuma bisa berbaring di kasur dan nggak bikin apa-apa.
Membuat karya itu udah bagian dari hidup aku.
Duduk di kursi dengan waktu yang lama pun aku nggak bisa. Harus dibantu lumbar corset dan diselingi istirahat selama berjam-jam. Kalau nyeri kepalanya kambuh, aku harus kompres es batu.
Dari keadaan kesehatan seperti itu, aku ngerasa “Boro-boro kerja di luar, ada kegiatan aja gue harus diselingi banyak istirahat. Kayaknya mustahil juga gue berkegiatan dengan kesehatan kayak gini”
Akhirnya, aku putar otak gimana caranya aku bisa tetap punya kegiatan dan berkarya dengan keterbatasan ini. Kesimpulannya, mungkin aku nulis lagi. Aku pingin bangkit sebelum waktu aku habis, minimal di umur 24.
Mencoba Bangkit Lagi di Umur 24: Butuh Lebih dari Sekedar Nulis
Aku mencoba bangkit lagi di umur 24 dengan menulis blog. Setelah banyak artikel yang kuhapus karena berantem sama mantan di akhir tahun 2020, aku coba fokus nulis lagi di akhir tahun 2023.
Sebenarnya aku udah ngerasa sedikit lega karena bisa buang sampah emosi ke blog. I can say, keadaanku membaik dari segi psikologis dan fisik. Tapi, makin hari, aku sadar tulisanku gitu-gitu aja. Yang ada nasibku juga sama aja.
Meskipun lepas dari obat, aku depresi lagi karena nasibku nggak berubah. Maka dari itu, aku menulis keluhanku di blog. Aku nulis hal-hal yang bernada depresif.
Setelah dipikir-pikir, emosi depresif aku nggak bakal berakhir kalo bukan aku sendiri yang mengakhirinya. Makanya, nasibku sama aja.
Akhirnya, aku sadar aku ngerasa butuh lebih karena aku kesepian. Akhirnya, aku mikir “Mungkin saatnya cari kegiatan positif biar aku nggak depresi terus, sekaligus cari teman”
Ikut Bootcamp E-learning
Karena keterbatasan kesehatan, aku coba cari kegiatan dengan belajar lewat e-learning. Kebetulan, sebagai orang yang suka nulis, akhirnya aku milih ikut pelatihan/bootcamp SEO Content Writing.
Waktu itu, aku nulis blog di platform Medium. Sayangnya, Medium aku susah keindeks di Google, akhirnya aku coba nulis di WordPress. Di WordPress pun begitu, blog aku nggak keindeks juga di Google. Akhirnya, aku memutuskan buat belajar tentang SEO, biar blog aku tampil di mesin pencarian teratas Google, dimulai dari belajar content writingnya.
Aku ikut bootcamp selama 3 bulan lewat Zoom. Setelah selesai ikut bootcamp dan dapat sertifikat, aku coba nulis artikel dengan menerapkan ilmu itu di blog WordPress aku.
Dari hal tersebut, belajar hal baru bikin aku senang. Selain nambah skill, aku juga bisa dapat koneksi baru. Tapi, kalau koneksinya cuma sebatas di layar aja dan nggak ketemu langsung, rasanya kurang banget.
Maka dari itu, aku pingin ketemu orang yang bener-bener real ketemu gitu. Mungkin aku harus coba kegiatan lain.
Ikut Kegiatan Kelas Modeling
Akhirnya, aku coba lihat-lihat di Instagram. Selama beberapa hari, muncul iklan kelas modeling. Karena dari dulu penasaran gimana rasanya jadi model, akhirnya aku daftar di suatu kelas modeling yang berlokasi di Senopati itu.
Selama latihan catwalk di kelas modeling itu, awalnya aku ngerasa canggung. Soalnya, kesehatan fisik dan psikologis aku belum sembuh total. Coach modeling aku juga sadar kalau aku kayak orang kebingungan dan kaku. Mungkin efek ‘kelamaan di dalam goa’ dan kaget begitu keluar dari ‘goa’. Maksudnya, kelamaan istirahat di rumah dan ga bisa keluar rumah dalam waktu yang lama.
Tapi, lama kelamaan, aku menikmati proses belajarnya. Orang-orang dan coachnya juga sangat welcoming, meskipun catwalk aku sering salah dan kaku. Apalagi waktu sesi sharing setelah kelas, biasanya kita akan ngobrol-ngobrol, kayak gimana rasanya setelah ikut kelas dan motif ikut kelas modeling.
Motifku ikut kelas modeling itu ingin belajar skill baru dan penasaran kelas modeling itu kayak apa. Tapi, aku nggak bilang kalo aku lagi proses sembuh dari dua cedera. Bisa-bisa aku nggak dibolehin ikut kelas dan disuruh istirahat. I am too bored to stay in the room for a long time. So, I need some real activity.
Jadi, semua temen kelas modeling aku nggak ada yang tahu kalo aku habis kena dua cedera. I’m sorry, if you’re my modeling class friends and reading this. Now you know the truth 🙂

Ikut Komunitas Lain
Ternyata, di Instagram juga banyak akun komunitas. Entah itu komunitas traveling, main, buku, dll.
Akhirnya, aku coba ke satu komunitas yang notabene membernya sampai ratusan. Waktu itu, kebetulan aku join komunitasnya saat bulan puasa. Jadi, aku ikut kegiatan bukbernya.
Semua orang dari berbagai latar belakang boleh join komunitas ini. Bayangin, orang random sebanyak itu, dengan seorang introvert kayak aku di dalamnya. Aku ggak bisa ngebayangin gimana canggungnya aku nanti.
Saat hari H bukber di suatu resto di Ciputat, awalnya aku canggung karena aku nggak kenal semua orang. Untung semuanya ramah dan baik. Akhirnya, aku bisa membaur dan beradaptasi. Ternyata, aku nggak seburuk yang aku kira.
Selain itu, nggak kusangka, momen bukbernya itu seru banget! Udah gitu meja kita meja paling receh dan berisik. Aku yang orangnya kaku gini nggak bakal nyangka, momen ini jadi momen yang bikin aku ketawa ngakak lagi setelah lama bedrest di rumah selama tiga tahun.


Setelah itu, aku banyak ikut kegiatan atau event yang diadakan komunitas itu. Berkenalan dengan orang baru mungkin overwhelming buat orang introvert kayak aku. Tapi, aku seneng banget bisa punya banyak temen baru.
Kadang, saking banyaknya orang yang kenalan, aku lupa nama mereka. But, I enjoyed it. I am happy.
Mengunjungi Bangunan Berarsitektur Kolonial
Aku suka banget Kotu, alias Kota Tua. Sebagai area dengan pintu diplomasi antar negara, area Kotu banyak dikelilingi bangunan berarsitektur kolonial khas Eropa, lebih tepatnya Belanda.
Aku mulai terinspirasi untuk menikmati arsitektur kolonial saat aku sekeluarga mengunjungi Rest Area KM 260 B di Brebes. Waktu itu, aku masih cedera punggungku masih sakit dan harus pakai lumbar corset terus. Ternyata, bangunan tua yang direstorasi bisa jadi indah kalau digunakan ulang.
Mengingat lagi masa kuliah, saat belajar tentang adaptive reuse bangunan. Adaptive reuse ini diterapkan banyak di bangunan tua bekas jajahan yang dialihfungsikan menjadi kantor, pusat pemerintahan, kafe, dll.
Dari momen itu, akhirnya aku menemukan passion baru dalam arsitektur: mengunjungi bangunan berarsitektur kolonial dan menulisnya di blogku.
Akhirnya, aku berencana mengunjungi bangunan Toko Merah di Kotu pada tahun 2024 dan menulis artikelnya di blogku. Akhirnya, impian aku mengunjungi gedung bernama Toko Merah tersampaikan.

Mungkin aku nggak kerja selinear jurusanku sebagai arsitek atau drafter. Tapi dalam tulisanku, aku tetap menulis tentang arsitektur sebagai blogger.
Memasuki Umur 25
Kembali Baca Buku
Karena banyak istirahat selama tiga tahun, imbasnya, kemampuan kognitif aku nurun gara-gara cedera kepala. Akhirnya aku coba lagi ikut komunitas lain ‘yang memulihkan kemampuan kognitif aku lagi’. Kali ini, aku ikut komunitas baca buku.
Hobiku yang ini, bisa dibilang, nggak seksi buat orang-orang sekitaran aku, termasuk mantanku. Aku sering diledek mantanku karena hobiku yang suka baca buku ini. Tapi aku nggak peduli.
Pas kuliah aja aku sempatkan baca buku kok meskipun susah cari waktunya. Masa aku harus ngebuang hobiku ini biar nggak diledek lagi? Jadi, aku tetap ikut komunitas baca buku, terlepas orang bakal ngomong apa, termasuk mantanku.
Selain itu, di umur segini, aku ingin baca buku lagi kayak dulu. Kali ini, aku ingin baca buku dengan teman-teman.
Setelah berhasil habisin satu buku aja, aku ngerasa it felt really great! Kemampuan kognitif otakku berangsur pulih. Aku nggak ngerasa stress atau psikologis aku terganggu lagi. Ternyata, baca buku bisa sengaruh itu buat kesehatan mental aku.

Terlebih, ditemani teman-teman yang suka baca buku juga. Selain bisa kenalan dan nambah temen baru, aku juga suka diskusi tentang buku yang mereka baca. Ngobrol sama mereka sama halnya kayak sharing ilmu dari buku masing-masing yang mereka.
This community is meaningful for me, sebagai orang yang rasa ingin tahunya besar.
Membangun Blog dengan Domain Nama Sendiri
Setelah belajar SEO Content Writing, aku belajar SEO dalam garis besarnya.
Karena impian untuk punya website sendiri udah jadi impian sejak SMP, aku coba beranikan diri beli domain. Akhirnya, aku punya blog dengan domain nama aku sendiri. Selain buat wadah berekspresi aku, website aku juga jadi sarana belajar SEO.
Sebenarnya aku ngerasa biasa aja saat punya blog dengan domain sendiri. Tapi, saat orang-orang lihat blog aku, mereka akan kayak “Wow! Ini website kamu? Keren udah punya website sendiri!”
Aku nggak kebayang kalo perjuangan aku udah sejauh ini: dari nulis sampe bela-belain beli domain buat wadah nulis dengan domain nama sendiri. Lebih senangnya lagi, mereka juga nggak keberatan untuk baca artikelku. Aku merasa, perjuangan aku bangkit di umur 24 ini nggak sia-sia.
Tanggung Jawab Besar
Semenjak punya website sendiri, aku merasa udah punya tanggung jawab besar untuk mengelola apa yang aku tulis dan upload ke publik. Aku jadi sadar, tulisanku bisa saja membawa dampak tertentu untuk pembacaku. Jadi, momen punya website ini jadi titik balik aku untuk tetap stay positive sebagai penulis blog independen.
Bukan cuma soal konsistensi menulis, tapi juga tentang integritas, gimana aku bisa menyampaikan ide, opini, atau cerita dengan jujur, tapi tetap berusaha untuk ngasih dampak positif buat pembaca aku.
Kadang aku mikir, satu kalimat yang aku tulis bisa aja jadi penyemangat untuk orang yang lagi terpuruk. Atau sebaliknya, bisa jadi pemicu luka yang tak terlihat. Dan itu bikin aku makin hati-hati dalam menulis.
Tapi, bukan berarti aku takut menulis. Justru dari situ, aku belajar kalau jadi blogger independen bukan cuma tentang berbagi isi kepala, tapi juga soal membangun etika dan empati dalam karyaku.
Titik Balik Aku Bangkit di Umur 24
Setelah menjalani tahun-tahun yang berat, aku sadar kalau proses pulih itu bukan tentang “kembali jadi kayak dulu”, tapi menerima versi aku yang sekarang dengan segala pengalamannya, mulai dari cedera fisik sampai depresi. Tapi satu hal yang pasti: aku ingin hidup dengan caraku sendiri.
Dengan menulis, belajar hal baru, berteman dengan orang baru, hidup yang dulu terasa kayak reruntuhan, sekarang aku susun ulang pelan-pelan.
Punya website pribadi mungkin kedengerannya biasa aja buat sebagian orang. Tapi, buatku ini simbol kalau aku bangkit lagi. Blog ini bukan cuma media untuk menumpahkan isi kepala, tapi juga wujud komitmen aku untuk terus bertumbuh.
Dari situ aku belajar, kalau keterbatasan bukan alasan untuk berhenti, tapi petunjuk untuk menemukan jalur alternatif dalam berkarya.
Perjalanan aku ini belum selesai. Aku tahu, pasti akan ada tantangan lain di masa depan. Tapi satu hal yang pasti adalah aku sadar bahwa aku masih berharga, terlepas dari luka, kandasnya impian, atau tertawaan orang lain yang aku terima.
Aku nggak berniat jadi sempurna. Nobody’s perfect, right? Aku cuma pingin jujur menjalani hidupku, satu hari dalam satu tulisan. Dan tetap berkarya bagaimanapun keadaannya.
Balik lagi ke tahun 2021, di note yang aku ketik. Perlahan-lahan, impianku semua terwujud.
Aku bangkit lagi di umur 24, dan impianku perlahan-lahan terwujud di umur 25, setelah tiga tahun merasa tidak berdaya di atas tempat tidur.
