Handmade Sketches,  Mental Health,  Opinions

[Part 1] Antara Gambar dan Kata – Awal Perjalanan Kreatif dalam Menggambar

Prolog

Pada pertengahan 2000-an, sebuah upacara tedhak sinten di kampung halaman Pemalang berlangsung lancar. Sang anak perempuan berumur delapan bulan – yang berasal dari Jakarta itu – berhasil menempuh semua prosesi acara: dari basuh kaki, meniti jadah, dan naik tangga.

Setelah menempuh prosesi itu semua, dengan riang gembira anak tersebut dimasukkan ke dalam kurungan ayam dari anyaman bambu. Di dalamnya sudah ada buku tulis, pulpen, gelang emas, dan boneka. Konon, dalam mitos Jawa, prosesi kurungan itu bisa memprediksi ‘akan fokus di bidang apa anak ini kelak’ ketika ia mengambil salah satu barang, saat di dalam kandang tersebut.

Awalnya, anak tersebut tertarik dengan gelang emas. Ia hampir mengambilnya. Tetapi, perhatiannya teralihkan saat melihat pulpen hitam. Ia mengambil pulpen tersebut, lalu mencoretnya di buku tulis yang ia buka sendiri. Semua hadirin tercengang melihat anak tersebut dari lubang-lubang anyaman bambu yang menutupnya.

“Oh, brarti ngko gedené seneng nulis!” celetuk salah satu hadirin di upacara tersebut dengan logat ngapaknya, yang artinya “Oh, berarti nanti besarnya suka nulis!”

Entah kenapa mitos tersebut terbukti. Memasuki masa sekolah, anak perempuan tersebut selalu berkutat dengan buku tulis dan pulpen. Ia akan menggambar di halaman belakang buku, atau menulis keluhan tentang hari sialnya. Mustahil jika tidak ada karya gambar atau tulisannya di tiap buku tulisnya, rasanya seperti bukan dia.

Seiring berjalannya waktu, pulpen dan buku itu ia olah menjadi gambar dan tulisan penuh makna. Setiap halamannya penuh dengan coretan, entah sebaris dua baris kalimat atau sketsa wajah penuh ekspresi. Baginya, dunia nyata terlalu menyebalkan, dan ia mengeluh lewat garis, huruf, dan warna.

Anak perempuan tersebut – yang dipanggil Veni – kini tumbuh menjadi wanita yang pendiam, yang hanya berkawan sejati dengan buku, pulpen, dan pensil warna. Ia hanya berisik di atas kertas. Sekarang, ia mencoba menjadi lebih berisik di acara sosial, dimulai dari media sosial dan blog.

Saat Aku Kecil

Waktu aku kecil, aku adalah anak yang kreatif dan mempunyai rasa ingin tahu yang besar. Ibuku mengagumi karakter kreatifku, sedangkan rasa keingintahuanku sering ia anggap menyebalkan, karena terlalu banyak bertanya segala hal. Sehingga dua hal yang kontras tersebut menjadi karakter utamaku: kreatif dan kritis.

Karakterku yang kreatif ini kutuang dalam bentuk menggambar. Aku menyadari bakatku ini sejak kecil. Ibuku pun mengakui hal ini, yang sering memperhatikanku menggambar di dinding, di pintu kulkas, di lemari, bahkan di buku abangku. Selain itu, aku kerap menjadi bahan omelan ayahku karena menggambar di dinding. Padahal, aku mendapat bakat ini dari ayahku.

Goresan Awal di Dinding

Layaknya jejak seni manusia purba yang melukis di dinding gua, masa kecilku yang kerap menggambar di dinding pun menjadi salah satu jejak seni awal menggambarku. Ibuku sudah menuntunku untuk menggambar di atas kertas, tapi lama kelamaan aku bosan, dan aku mencoba menggambar di dinding.

Aku sering menggambar orang, ikan, bebek, beruang, dan lainnya. Semua yang aku gambar hanya objek yang aku lihat di kehidupan sehari-hari, baik yang aku lihat langsung, maupun yang aku lihat di TV atau buku.

Semua objek yang aku gambar tak mempunyai arti spesifik, bentuk dan garisnya pun antah berantah. Aku menggambarnya hanya karena aku melihatnya atau mengimajinasikannya. Tetapi, fase masa kecil ini sangat berarti sebagai pondasi dari imajinasiku yang berkembang.

Di masa ini, aku belajar untuk mengamati dunia di sekitarku, menerjemahkannya ke dalam bentuk visual, dan menuangkan imajinasiku ke atas media. Meski gambarku terlihat sederhana dan tak beraturan, proses menggambar ini melatih kreativitas dan menumbuhkan rasa ingin tahuku.

Fase ini adalah awal dari perjalanan panjangku dalam menjelajahi dunia seni menggambar, dan setiap gambar yang aku buat adalah jejak langkah kecil menuju pemahaman yang lebih dalam tentang diriku dan dunia di sekitarku.

perjalanan menggambar realisme gambar manga
A girl in the rain, 2014

Hal ini juga yang membuatku ingin menjadi polisi, agar bisa menumpas kejahatan, seperti Ichigo Momomiya – pentolan geng Tokyo Mew-Mew berwarna merah. Sayangnya, keluargaku tidak merestui cita-citaku menjadi polisi.

Mulai Menggambar di Kertas

Semakin lama, aku mulai memahami hal normatif, seperti: menggambar harus di kertas. Aku mulai sering menggambar di kertas, terutama di belakang buku tulis. Aku sering meminta buku tulis pada ibuku untuk menggambar, dan ia memberi buku tulis bekas abangku yang sudah tidak terpakai. Jadi, kertas kosong sisanya hanya di halaman terakhir, dan aku menggambar di situ.

Aku mulai menggambar objek manusia, terutama anak perempuan. Terlebih, aku mulai mengkorelasikan gambar anak perempuan itu dengan aku. Kadang mengkorelasikan gambar perempuan dewasa sebagai ibuku atau karyawati toko orang tuaku.

Ibuku akan memamerkan gambarku ke karyawatinya, dan mereka akan tercengang atau tertawa melihat gambarku yang menurut mereka lucu, karena aku menambahkan gambar pita, bunga, atau mahkota di atas kepala gambar mereka.

Di fase ini, aku mulai memahami hubungan gambar dengan orang-orang di kehidupanku. Aku mulai melibatkan imajinasi yang lebih kompleks dalam setiap gambar. Jadi, aku tidak hanya menggambar apa yang aku lihat, tetapi juga apa yang aku rasakan dan pikirkan. Aku mulai menambahkan detail-detail kecil yang mencerminkan kepribadian karakter yang aku gambar, seperti ekspresi wajah, pakaian, dan aksesori.

Aku juga mulai mencoba menceritakan kisah melalui gambar-gambarku, menciptakan adegan-adegan sederhana yang menggambarkan interaksi antar karakter. Lalu, aku sadar, bahwa menggambar bukan hanya tentang mereproduksi objek secara visual, tetapi juga tentang mengekspresikan diri dan terhubung dengan orang lain melalui gambar.

Memasuki Sekolah Dasar

Bakat menggambarku mulai mendapat pengakuan sejak SD kelas satu, meskipun dengan kesan awal yang tidak mengenakkan. Di sekolah, aku sering menggambar diam-diam saat guruku mengajar. Meskipun masih bisa memperhatikan pelajaran, kadang-kadang, aku merasa bosan, lalu aku menggambar di belakang buku tulisku.

Suatu hari, aku kedapatan tidak memerhatikan guru saat mata pelajaran Diniyah. Guru Diniyah tersebut mememolotiku karena aku ketahuan tidak memperhatikan dia. Lalu, ia mengadukanku ke Bu Rojiah, wali kelasku.

Memasuki Sekolah Dasar

Bakat menggambarku mulai mendapat pengakuan sejak SD kelas satu, meskipun dengan kesan awal yang tidak mengenakkan. Di sekolah, aku sering menggambar diam-diam saat guruku mengajar. Meskipun masih bisa memperhatikan pelajaran, kadang-kadang, aku merasa bosan, lalu aku menggambar di belakang buku tulisku.

Suatu hari, aku kedapatan tidak memerhatikan guru saat mata pelajaran Diniyah. Guru Diniyah tersebut mememolotiku karena aku ketahuan tidak memperhatikannya. Lalu, ia mengadukanku ke Bu Rojiah, wali kelasku.

Mengikuti Sayembara BHB Enikki

Bu Rojiah – yang juga kebetulan guru Kesenian – menyadari bakat menggambarku. Di tahun 2006, ia mengikutsertakan aku dalam sayembara BHB Enikki, sebuah lomba buku harian bergambar yang diadakan oleh KPAI dan UNESCO. Ibuku sangat antusias karena gambarku bisa dikirim ke Jepang untuk penjurian.

Mereka memberi file berisi kertas kosong dengan template dan cap khusus sayembara sebanyak sepuluh lembar, lengkap dengan narasi buku harian anak-anak yang tertulis di tiap lembar. Selama lomba berlangsung, pihak sekolah memberiku privilege untuk mengerjakan sedikit PR, agar aku fokus menyelesaikan sayembara. Saat aku fokus menggambar, ibuku membantuku dengan menuntunku apa yang harus aku gambar di tiap narasi per lembar.

Meskipun tidak menang, pengalaman ini memberiku semangat untuk terus berkarya. Hal ini menjadi batu loncatan bakat menggambarku, sekaligus berkompetisi.

hasil dari perjalanan lomba menggambar, sertifikat BHB Enikki
Piagam penghargaan peranserta sayembara BHB Enikki

Mengikuti Lomba Menggambar dari Majalah Mombi

Di tahun 2007, kebetulan majalah Mombi mengadakan lomba menggambar. Setelah sayembara Enikki itu, ibuku mendaftarkanku ke lomba itu.

Tema menggambarnya adalah kegiatan di rumah, dengan format kertas ukuran A4. Waktu itu, aku menggambar diriku dan ibuku menyapu halaman depan rumah, atas perintah ibuku. Setelah itu, kami mengirim file gambarku lewat pos, tidak lupa dengan lampiran kupon lombanya. Begitupun dengan lomba yang kedua kalinya: aku menggambar diriku sedang belajar, dengan ibuku yang juga mengajarku belajar.

Akhirnya, dua kali gambarku terpajang di halaman publikasi lomba menggambar tersebut. Di lomba pertama, aku dapat hadiah topi merah. Lalu yang kedua kalinya, aku dapat hadiah tas merah berlogo Mombi dan uang tunai senilai dua ratus ribu rupiah.

Pada sayembara ketiga, Mombi tidak memajang gambarku, karena aku sudah dua kali mengikuti lomba.

Perlombaan yang aku ikuti di umur sekecil itu menjadi insight awalku untuk berkompetisi. Sehingga aku tidak sekedar menggambar saja yang mengandalkan skill menggambarku, tetapi juga menandalkan mental, seperti belajar untuk berani bersaing, bahkan menerima kekalahan. Hal ini membuatku termotivasi dalam berkarya, sehingga ada kepuasan tersendiri saat karyaku dipublikasikan secara umum.

Mencoba Menggambar Denah

Selain menggambar manusia, aku juga sering mencoba menggambar denah. Waktu itu, gambar arsitektural ini hanya eksperimen selingan saja di kala aku bosan menggambar manusia, atau jika terinspirasi setelah melihat sketsa denah buatan ayahku, atau dari majalah desain rumah dari ayahku, yang kebetulan bekerja sebagai pemborong dan desainer rumah.

Satu per satu halaman majalah desain rumah minimalis aku buka Dari yang hanya sekedar melihat, tanpa kusadari lama kelamaan berubah menjadi impian. Maka dari itu, aku jadi penasaran untuk mencoba menggambarnya. Penyebabnya adalah saat aku kecil, aku merasa hanya berkutat di kamarku saja, dengan kasur queen size yang tidak ideal untuk kamar berukuran 2.50 m x 3.00 m, terlebih dengan empat anggota keluarga di ruang yang sama.

Aku mencoba menggambarnya di tengah buku. Bedanya dengan menggambar manusia, aku tidak menggambar denah saat di sekolah, aku menggambar denah saat aku di rumah saja. Aku butuh suasana tenang saat menggambar denah, karena saat menggambar, aku menjeda sebentar untuk berpikir bagaimana menempatkan ruang dan perabotan yang setidaknya bagus dan sesuai mauku. 

Fase permulaan aku menggambar hal berbau arsitektural ini jadi batu loncatanku untuk mengeksplorasi hal baru yang belum pernah ku coba. Di saat aku bosan, aku tetap mencari hal baru yang positif. Hal ini juga membuatku terlatih secara otodidak bagaimana mendesain di umur sekecil itu, yang tidak diajari siapapun.

Inspirasi Awal Menggambar

Semakin beranjak, aku makin terinspirasi oleh acara TV yang aku tonton di channel SpaceToon. Waktu itu, aku sering menonton program Zomoroda yang khusus menayangkan anime perempuan, seperti Princess Comet, Tokyo Mew-Mew, Magical Doremi, Minky Momo, dll. Jadi, gaya menggambarku adalah manga, sebuah gaya menggambar comical yang berasal dari Jepang.

Aku suka anime bergenre magical girl, di mana tokoh utamanya adalah penyihir yang bisa bertransformasi secara ajaib. Apalagi anime yang menceritakan tentang penumpasan kejahatan. Dengan mantra dan perhiasan khas mereka, mereka bertransformasi menjadi pahlawan, lengkap dengan kostum keren, tongkat sihir, atau senjata mereka yang penuh permata dan sinar cahaya. Setelah itu, mereka bekerja sama dengan teman-temannya untuk mengalahkan musuh yang membahayakan.

Hal ini juga yang membuatku ingin menjadi polisi, agar bisa menumpas kejahatan, seperti Ichigo Momomiya – pentolan geng Tokyo Mew-Mew berwarna merah. Sayangnya, keluarga tidak merestui cita-citaku yang menjadi polisi, sehingga aku memilih untuk fokus menggambar saja, menjadi pahlawan di gambarku sendiri.

Menggambar tentang Diriku

Lebih dari sekedar menggambar manusia dan kehidupannya sehari-hari, aku semakin fokus menggambar diriku sendiri. Jadi, sebagian besar gambarku menceritakan diriku dan kehidupanku.

Di kebanyakan gambar, aku menjadi suka menggambarkan diriku, dengan gambar anak perempuan berambut panjang yang terurai lepas. Aku senang menggambar diriku karena sebagai representasi apa yang aku pikirkan dan rasakan tentang diriku yang tidak banyak bicara ini.

Rambut panjang itu bagiku adalah simbol kebebasan, sebagaimana diriku yang tidak suka diikat rambutnya. Kebebasan itulah sesuatu yang mungkin tidak selalu bisa aku dapatkan di dunia nyata, karena tuntutan orang tua untuk selalu belajar. Terkadang, aku menggambar rambut itu terurai liar, seolah-olah angin sedang bertiup kencang, melambangkan emosi yang bergejolak di dalam diriku.

Aku juga belajar menggambar ekspresi wajah, seperti wajah bahagia, sedih, dan marah. Ekspresi wajah itu adalah cerminan dari perasaanku pada saat itu, sebuah jendela menuju jiwaku yang tersembunyi. Melalui gambar-gambar ini, aku bisa mengekspresikan diri tanpa harus mengucapkan sepatah kata pun. Aku bisa menjadi siapa pun yang aku inginkan, merasakan apa pun yang aku rasakan, tanpa takut dihakimi. Gambar-gambar itu adalah dunia kecilku sendiri, tempat aku bisa menjadi diriku yang sebenarnya.

Menggambar tentang Persahabatan

Selain menggambar tentang diriku, aku juga senang menggambar tentang persahabatan, seperti di anime Tokyo Mew-Mew, yang juga menggambarkan persahabatan ala-ala cewek, di samping tugasnya menjadi pahlawan di kala musuh menyerang.

Meskipun aku introvert, aku lebih menghargai kualitas dalam hubungan antarpersonal: Aku lebih menyukai ruang lingkup yang kecil tetapi kompak dan saling menghargai, daripada ruang lingkup yang besar yang banyak pembicaraan tidak penting. Hal ini membuatku menjadi orang yang sangat selektif. Sehingga jika aku sudah merasa ‘klik’ dengan sekumpulan orang, aku akan bertahan karena kualitas interaksinya.

“Persahabatan membuat hidup lebih berwarna” Penggalan kalimat ini tidak hanya berarti secara harfiah bagiku. Dalam konteks menggambarku, aku mengaplikasikannya dengan menggunakan warna yang berbeda untuk masing-masing temanku, baik itu untuk warna bajunya, maupun matanya. Sehingga penggalan kalimat itu lebih dari sekedar kalimat, dan aku benar-benar mengaplikasikannya dalam karya.

Jadi, karyaku tidak hanya bercerita tentang kehidupanku, tetapi juga cerita persahabatan: kehidupan bersama teman-temanku. Aku tidak hanya menyenangkan aku sendiri, tetapi aku juga menyenangkan teman-temanku, dengan melibatkan mereka di dalam karya gambarku.

perjalanan menggambar  persahabatan vosal
Persahabatan VOSAL, 2013

Menggambar Denah di Aplikasi Paint

Setelah mencoba menggambar denah di buku tulis, aku mulai mencoba menggambar denah di aplikasi Paint di laptopku.

Hal ini bermula setelah aku dan ayahku membeli laptop baru di tahun 2011 yang lalu. Aku senang sekali saat laptop Acer Aspire One berwarna biru itu sudah menjadi milikku. Tetapi, di lain sisi, aku kebingungan “Apa yang bisa aku buat di laptop ini?” Sehingga aku coba menggambar di laptop ini, dengan membuka aplikasi Paint, seperti yang sudah aku lakukan saat di sekolah.

Aku coba menggambar manga. Ternyata sulit sekali: hasil gambarnya tidak memuaskan, karena garisnya tidak se-smooth aku menggambar secara manual dengan pensil dan drawing pen. Warnanya pun tidak bisa kubuat gradasi secara halus, dan sebebas menggoreskan pensil warna secara manual. Sehingga aku tidak melanjutkannya lagi.

Akhirnya, aku mencoba gambar denah, dengan fitur menggambar garis lurus yang sudah ada. Terlebih, aplikasi itu juga menyediakan clip art perabotan dan furnitur rumah tampak atas. Mirip seperti Rayon Design, sehingga menyusunnya pun seperti puzzle. Aku menyukainya, meskipun pada akhirnya tidak pernah aku selesaikan.

Sisi Lain Gambar yang Indah

Di lain sisi gambarku yang playful, aku hidup di keluarga yang abusive, terutama ayahku yang selalu melakukan kekerasan terhadap ibuku. Jadi, semenjak kecil hidupku selalu terpapar kekerasan, dan aku hidup berdampingan dengan itu.

Maka dari itu, aku selalu mencoba untuk menyibukkan diri dengan menggambar dan membaca buku cetak pelajaran. Bayangkan, di umur semuda itu harus pandai membohongi diri demi menutupi rasa takut di rumah. Semua kulakukan karena terpaksa untuk mengalihkan rasa takutku, sehingga aku punya pelarianku sendiri di tengah carut marut keadaan di rumah. Tapi lama-kelamaan, aku jadi menikmati kebiasaan tersebut sampai sekarang.

Gambar yang aku jadikan pelarian selalu tentang persahabatan, sehingga persahabatan dan menggambar menjadi dua hal krusial untuk dukungan mentalku. Hanya hal itu yang membuatku bahagia. Sehingga aku selalu memenuhi file gambar masa SMA-ku dengan mengobrol dan tertawa dengan sahabat-sahabatku, dan menggambarnya.

Menggambar tentang persahabatan rasanya seperti menangkap momen yang suatu hari tidak akan kurasakan lagi, sebagai anak yang beranjak remaja. Kebahagiaan itu aku tangkap dengan bentuk gambar hasil tanganku sendiri.

Hal itu tidak menyenangkan aku pribadi, tetapi juga menyenangkan mereka, yang juga suka dengan gambar-gambarku.

Fase Kritis Masa Remaja

Saat aku beranjak remaja, aku memasuki masa kritis yang membingungkan: di kala mencari tuntunan untuk masa depan, tetapi role model di rumahku sendiri pun membingungkan. Aku merasa terombang-ambing dalam menilai gambaran kehidupan domestik yang ideal dan sehat, mengingat suatu hari aku pasti akan hidup di jalanku sendiri. Entah itu akan tetap berakhir sendiri atau akan bersama orang lain.

Hal ini berujung ke meningkatnya rasa muak terhadap diri sendiri dan keluarga – terlebih terhadap drama rumah tangga nan toxic ini – yang sudah tidak terbendung lagi rasa muaknya. Di umur lima belas tahun, aku mencoba bunuh diri, dengan mencoba menusukkan gunting besar ke perutku. Tetapi percobaan tersebut gagal karena mendengar suara yang meragukan tindakanku, entah dari mana asal suara tersebut.

Sejak saat itu, aku mulai menderita depresi. Selain faktor keluarga, faktor persaingan di sekolah pun turut menjadi penyebab aku depresi. Aku pun mencoba metode escape-ku yang pernah aku lakukan saat kecil, ternyata, materi pelajaran banyak yang tidak masuk ke otakku. Penyebabnya adalah mentalku sudah kewalahan menghadapi drama di rumah, terlebih persaingan di sekolah yang semakin berat.

memasuki perjalanan menggambar yang gelap
Can’t unravel myself, 2016

Mulai Mengeksplorasi Simbol-Simbol

Hingga akhirnya, tanpa kusadari, hal itu mempengaruhi gaya menggambarku yang mulai mengarah ke gaya surealisme: aku selalu menambahkan elemen, seperti pedang, kostum berseragam khas Inggris, gaun Eropa klasik atau Gothic Lolita, dan mayat yang terbunuh.

Pada fase remaja inilah aku mulai menggunakan simbolisme – sebuah elemen atau objek yang kugambar di luar objek realisme – yang menyiratkan makna tersendiri. Secara garis besar, gambarku mengandung amarah, kesedihan, dan dendam. Setelah itu, aku menggambar elemen-elemen yang tidak mungkin ada dunia nyata, bahkan dilarang dan melanggar hak asasi manusia.

Kebosanan yang Berujung Mencoba Mendesain Rumah

Begitu pun keadaan rumah, aku pun juga muak menggambar manga ataupun surealisme beserta simbolisme sadistis lainnya. Aku muak dengan amarah dan kesedihanku yang tak berujung dan menyiksa mentalku. Jadi, daripada aku menggambar itu, aku menggambar rumah impianku, agar aku bisa bebas dari rumah ini.

Semenjak renovasi rumah, aku merasa senang, karena rumah jadi lebih luas dan teratur. Tetapi aku merasa belum puas dengan rumah ini: Aku ingin rumahku sendiri, sehingga aku tidak melihat percekcokan orangtuaku lagi. Terlebih, kamarku yang berada di lantai tiga, terletak di ujung, beratapkan seng, menjadikan kamarku ruangan yang paling panas di antara ruangan lain. Hal ini membuatku benci kamarku sendiri. Sudah benci keluargaku, benci kamar sendiri pula.

Hingga akhirnya aku berminat untuk masuk jurusan arsitektur.

Fokus Menggambar Arsitektural: Jeda dari Menggambar Manga yang Indah dan Surealisme

Selain menggambar manga, aku juga sering mencoba menggambar denah dan eksterior rumah, Terhitung dari ceritaku sebelumya, saat SD, gambar denahku hanya eksperimen selingan saja, di kala aku bosan menggambar manusia, atau jika terinspirasi saja.

Selain itu, tidak hanya aku, abangku pun punya bakat yang sama. Dia lebih suka menggambar graffiti dan doodle. Aku pernah melihat berlembar-lembar karya graffiti atau doodlenya saat SMA. Selain itu, dia juga sering ikut temannya menggambar graffiti di tembok.

Saat aku SD, kadang-kadang aku menggambar denah rumah di halaman belakang buku tulisku. Memasuki SMP, aku mencoba membuat desain rumah menggunakan aplikasi Paint di laptop. Hingga akhirnya di bangku SMA, aku berkenalan dengan gamtek, alias gambar teknik. Kebetulan, pelajaran Seni Budaya saat dua tahun pertama di SMA adalah menggambar teknik, sehingga aku sudah punya gambaran yang mantap langkah apa yang akan aku ambil setelah lulus SMA.

Hingga akhirnya, aku yakin aku akan mengambil jurusan arsitektur. Selain ingin mempunyai rumah impian, idealisme tentang rumah yang nyaman selalu membekas di pikiranku, mengingat banyak pengalaman buruk mengenai ruang dalam rumahku. Entah dari segi estetika, efisiensi, maupun trauma pribadi, seperti kenyamanan dan privasi dari keributan keluarga.

Memasuki Kuliah Arsitektur

Saat kuliah, aku dipaksa menggambar garis lurus, perspektif yang sempurna, dan bangunan yang tampak “hidup” di atas kertas. Meskipun secara kontradiktif aku merasa “mati” karena terbiasa menggambar tentang kehidupanku, tetapi aku menikmatinya. Hal yang dulu aku anggap selingan ini membuat perasaan amarah saat menggambar surealisme tidak muncul lagi, sehingga aku merasa nyaman,

Selain dipaksa untuk tidak memakai “emosi”, aku juga dipaksa menggunakan logika. Semua yang aku gambar berdasarkan analisis, rasionalitas, angka, data dan fakta lapangan, sehingga aku tidak larut dalam emosiku saat aku menggoreskan pulpenku lagi.

Saat itu, goresan pulpen dan pensil warnaku bukan tentang kehidupan dan emosiku lagi, tetapi menjadi tentang karya hasil konsep dan analisis berdasarkan data dan fakta yang ada. Aku juga menemukan kepuasan tersendiri dalam melihat gambar-gambar arsitektur yang kugambar. Ada keindahan dalam keteraturan, ada kepuasan dalam ketepatan, dan ada kebanggaan dalam menciptakan sesuatu yang bisa terwujud secara nyata dalam bentuk gambar kerja maupun maket.

Mungkin ini yang namanya kompromi antara seni dan teknik. Mungkin inilah jalan yang harus kutempuh sebagai seorang mahasiswi arsitek, meski ada bagian dari diriku yang masih ingin menggambar tanpa aturan, tanpa batas, hanya mengikuti arus perasaan yang liar dan tak terduga.

Menyiksa, tapi Menikmati

Seperti kuliah arsitektur pada umumnya, dengan tugas gambar kerja yang banyak, maket, membuat 3D bangunan, masalah teknis laptop, kurang tidur, hingga bertengkar dengan teman karena beban tugas yang berat – paling berat di antara jurusan kuliah lain. Tetapi semua penderitaan yang menyiksa itu, aku sangat menikmatinya. Mungkin karena aku tidak perlu memusingkan luka emosional dan trauma yang sudah aku alami.

Sensasi saat aku memotong beermat dengan pisau cutter, memotong kayu balsa, atau tetesan lem korea yang tidak sengaja mengenai jariku, dan menaruh taburan berwarna hijau untuk vegetasi tapak maketku, terasa memuaskan di tengah tekanan target tugas.

Sensasi menciptakan sesuatu dari awal, melihat ide-ide abstrak menjelma menjadi bentuk nyata, memberikan kepuasan yang tak ternilai. Walaupun banyak orang merasa terbebani oleh kerasnya jurusan ini, aku justru merasa menemukan tempatku di sini. Arsitektur bukan hanya sekadar studi, tetapi juga sebuah perjalanan penemuan diri. Setiap proyek adalah kesempatan untuk belajar, tumbuh, dan mengatasi batasan diri.

Aku menyadari bahwa kesulitan yang kuhadapi selama kuliah arsitektur adalah bagian dari proses pembentukan karakter, dan setiap tantangan yang berhasil kuatasi membawa rasa pencapaian yang luar biasa. Pada akhirnya, aku bersyukur telah memilih jurusan ini, karena di sinilah aku menemukan passion dan keberanian untuk menghadapi hidup dengan segala kompleksitasnya.

Memasuki Fase Quarter Life Crisis di Umur Dewasa Muda

Setelah lulus kuliah, aku mengalami quarter life crisis, setelah menghadapi realita yang tidak mau aku jalani. Sehingga dengan mengobatinya, aku mencari validasi dengan curhat dengan pria yang ada di media sosial.

Hal itu bukan tanpa alasan: di dunia nyata, aku tidak mempunyai banyak teman pria. Aku tidak terlalu suka berteman dengan mereka, karena trauma pernah dibully dengan mereka. Sehingga di umur yang beranjak dewasa, aku mengalami kebingungan untuk berkomunikasi dengan mereka. Terlebih, aku mengalami kekerasan secara emosional oleh mantanku, yang membuatku hampir mati di umur 2021.

Kadang, aku mengkorelasikan pria dengan kekerasan. Sehingga hal itu menjadi ketakutanku tersendiri dan beban mentalku. Padahal, aku juga ada keinginan untuk berbicara dengan mereka, layaknya teman-temanku yang secara antusias membicarakan gebetan prianya atau pacarnya.

Tetapi sayangnya, di umur itu, aku banyak mengalami fase putus cinta yang membuatku sakit terlalu dalam dan membutuhkan rawat jalan psikiater. Aku merasa di umur itu, flashback menuju masa kecil dan remajaku berputar kembali di otakku, dan aku kewalahan dalam menghandle itu semua. Semua luka batinku muncul tanpa terkontrol.

Mendobrak Batas Berkarya dengan Jujur

Aku pun tidak bisa membohongi perasaanku, sehingga aku butuh mengeluarkannya secara jujur, mentah, dan murni dari perasaanku. Hal ini mempengaruhi perjalanan menggambar aku yang mulai mengalami perubahan: dari sekadar menggambarkan kebahagiaan, kini aku mulai menuangkan sisi gelap dari perjalanan hidupku. Seni menggambar menjadi cara untuk memahami diri sendiri, menghadapi realitas, dan menyalurkan emosi yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.

Semakin dewasa, hal yang dianggap benar-salah, hitam-putih menjadi tidak berlaku lagi bagi sebagian besar individu. Lama kelamaan, orang menetapkan standar moralitasnya masing-masing, tergantung perjalanan hidup mereka. Maka, aku mencoba mendobrak diam-diam batas kewajaran visualisasi karya yang topiknya masih dianggap tabu oleh masyarakat, yakni depresi, yang berhubungan dengan kesehatan mental.

Dalam konteks kesehatan mentalku, yaitu depresi, gambarku melampaui batas normal gambaran tentang kesedihan pada umumnya: tidak hanya murung dan menangis, tetapi juga berdarah-darah dan penuh adegan menyakiti diri sendiri. Sehingga emosinya lebih dari sekedar rapuh, tetapi juga destruktif.

Selain itu, aku sering menambah unsur bunga mawar, dress, tudung kepala, dan kutek untuk menekankan rasa frustrasi yang kuhadapi sebagai perempuan. Tetapi di lain sisi, harus memenuhi tuntutan lingkungan dan standar moral yang sudah ada di kehidupan yang konservatif ini.

perjalanan menggambar depresif
Trying to stay slay in depression, 2022

Proses Mencari Jati Diri dan Ciri Khas Pribadi

Perjalanan menggambar ini juga melibatkan proses mencari jati diri, yang berujung ke idealisme atau ciri khas pribadi. Sampai saat ini, depresiku menjadi inspirasiku dalam menggambar.

Perjalanan menggambar ini bukan sekadar tentang mengasah keterampilan, tetapi juga tentang menemukan jati diri. Depresi, yang semula menjadi beban, kini bertransformasi menjadi sumber inspirasi yang unik. Melalui goresan pensil dan sapuan warna, aku belajar untuk mengubah luka menjadi kekuatan, mengenali diri sendiri lebih dalam, dan menemukan suara pribadi.

Orang-orang mungkin menganggap gaya menggambarku “gelap” atau “suram” oleh sebagian orang, tetapi itulah caraku mengekspresikan diri, itulah ciri khasku yang membedakan aku dari yang lain. Menggambar bukan hanya sekadar hobi, tetapi juga terapi, sarana untuk melepaskan emosi negatif, meredakan kecemasan, dan menemukan ketenangan.

Dengan membagikan karya-karyaku, aku berharap bisa berbagi pengalaman dan membantu orang lain yang mungkin mengalami hal serupa, menunjukkan bahwa mereka tidak sendirian dan bahwa ada keindahan dalam setiap kesulitan.

Perjalanan mencari jati diri ini adalah perjalanan yang berkelanjutan, penuh dengan eksplorasi, pengembangan gaya, dan pembelajaran dari setiap pengalaman. Depresi mungkin akan selalu menjadi bagian dari diriku, tetapi aku tidak akan membiarkannya mendefinisikan siapa aku. Aku akan terus menggambar, berkarya, dan menemukan keindahan dalam setiap sisi kehidupan.

Kesimpulan Perjalanan Menggambarku

Perjalanan kreatif dalam menggambar yang aku alami adalah sebuah eksplorasi panjang yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik internal maupun eksternal. Sejak kecil, aku sudah menunjukkan ketertarikan pada dunia seni visual, dimulai dari coretan polos di dinding hingga eksperimen menggambar denah rumah. Setiap fase dalam hidupku membentuk cara aku mengekspresikan diri melalui gambar—mulai dari sekadar menggambar objek yang aku lihat, hingga menciptakan simbolisme yang merefleksikan perasaan dan pemikiranku yang lebih kompleks.

Seiring bertambahnya usia, dunia menggambarku semakin luas dan penuh makna. Aku tidak hanya menggambar untuk bersenang-senang, tetapi juga untuk menyalurkan emosi dan memahami diri sendiri. Dari gaya manga yang terinspirasi dari anime hingga surealisme yang penuh dengan simbol-simbol kuat, aku menemukan bahwa seni adalah cara terbaik untuk mengekspresikan apa yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Bahkan, pada saat-saat tergelap dalam hidupku, menggambar menjadi alat terapi yang membantuku menghadapi trauma dan konflik batin.

Ketertarikanku pada arsitektur juga tumbuh bersamaan dengan perjalanan kreatif ini. Aku mulai berpindah dari menggambar sosok manusia ke menggambar bangunan dan ruang-ruang impian. Pilihan untuk menempuh studi arsitektur adalah bentuk kompromi antara seni dan teknik, di mana aku belajar untuk mengendalikan emosiku dan menggunakan logika dalam berkarya. Meskipun awalnya menggambar adalah luapan perasaan, kini aku juga menikmati ketertiban dan analisis yang perlu dalam mendesain ruang.

Pemilihan jurusan kuliahku yang kontras dengan aliran menggambarku juga memberikanku pelajaran, bahwa pentingnya mempelajari semua hal perlu secara kronologis, sekalipun pada hal yang abstrak, seperti emosi. Hal itu bermula dengan menganalisis akar sebab akibat, berdasarkan data dan fakta yang ada di dalam kehidupanku. Suatu hal muncul karena ada sebab-akibat, sehingga semua yang aku alami dan hasil reaksinya ini akhirnya masuk akal. Hasil reaksi inilah yang menjadikanku inspirasi karya yang berasal dari depresiku, yang semuanya aku telusuri secara runtut dengan analisku.

Pada akhirnya, perjalanan menggambar ini tidak hanya tentang keterampilan, tetapi juga tentang pencarian jati diri. Dari coretan masa kecil hingga eksplorasi gaya yang lebih mendalam, aku menyadari bahwa setiap goresan adalah cerminan dari pengalaman, impian, dan perasaanku. Seni menggambar bukan sekadar hobi, tetapi juga cara untuk menyelami diriku sendiri, mengolah emosi, dan bahkan berbagi cerita dengan dunia. Aku akan terus menggambar, tidak hanya sebagai bentuk ekspresi, tetapi juga sebagai pengingat bahwa aku masih ada, bertahan, dan terus berkembang.

Sumber:

https://crrlc.lesley.edu/drawing-supports-the-writing-process

https://writing4pleasure.com/2024/07/19/drawing-first-writing-after-a-winning-strategy-for-early-writers/

https://kebudayaan.jogjakota.go.id/page/index/tedhak-siten–upacara-adat-menapak-tanah-pertama-bagi-anak

https://id.wikipedia.org/wiki/Manga

https://www.detik.com/bali/berita/d-6434615/realisme-adalah-pengertian-sejarah-dan-cirinya

https://creativityintherapy.com/2020/03/working-depression-art-based-approaches-directives/

https://venivriliani.com/mengapa-aku-suka-menulis-dan-membuat-website-blog-pribadi/

2 Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *