#DiaryVeni

Pengalaman pacaran yang ‘nggak banget’

Dina tiba-tiba nge-dm aku lewat Instagram, “Ven, ada cowok nih mau kenalan sama lu. Lu mau nggak?”

Belum sempat aku buka DM-nya, dia nulis lagi. Kali ini informasi singkat cowok itu. Dia tulis lulusan kampus mana, pekerjaan, bahkan IPK cowok itu.

Setelah kubuka DM-nya, aku bingung, “Ada apa ini? Dia lagi nyari loker kah?” tanyaku.

“Enggak, Ven. Nyari calon bini” jawab Dina dengan emot ketawa nutupin mulut.

“Oalah, gue kira dia nyari loker sampe nulis IPK begitu” jawabku lega.

Masalahnya aku bukan bos perusahaan juga kalo cowok itu beneran lagi nyari loker. Ternyata, yang cowok itu cari lowongan asmara.

Sayangnya, lowongan asmara itu juga nggak ada di aku.

“Sebenernya gue yang minta. Siapa tahu kriteria lu harus ada IPK-nya. Secara, lu kan agak kritis orangnya” jawab Dina.

Aku hanya ketawa sambil mikir lama. Akhirnya aku bilang, “Nggak dulu deh, Din” tolak aku.

Cowok itu bukan cowok pertama yang aku tolak. Sejauh ini, udah ada lima cowok yang aku tolak untuk menjalin hubungan, termasuk cowok itu.

Alasannya agak kompleks: aku belum tahu kriteria cowok yang cocok buat aku. Jadi, aku memutuskan untuk nggak menjalin hubungan dengan siapapun dulu.

Selain itu, ada pengalaman juga yang bikin aku males pacaran. Takutnya aku pacaran sama cowok yang nggak tahu diri. Kayak pengalaman pacaranku setahun yang lalu.

Terakhir kali, aku pacaran dengan seorang pria yang fisiknya idaman banget. Tubuhnya atletis dan berotot. Kulitnya agak gelap, tapi manis. Bibir dan alisnya tebal. Matanya bulat. Bulu matanya lentik yang bikin aku iri. And I don’t know how amazingly he had a oval-shaped face like Ryan Gosling. Ditambah tinggi badannya yang 178 cm. Bener-bener secara fisik keseluruhan, dia tipe cowok model banget.

Dia juga lucu orangnya. Terlebih, dia juga suka nanya “Hari ini seneng, gak?” kalo kita habis jalan, which is sweet. Kayak aku ngerasa keadaan emosional aku tervalidasi dan terpantau, yang jarang aku dapat di rumah dan di hubungan sebelumnya.

He treated me like a queen, too. So I decided to stay with him.

Kalo dari segi fisik dan sifat menyenangkannya, kedengarannya dia ini pria idaman banget.

Tapi ngomongin soal cocok atau tidaknya sama aku, itu udah lain cerita.

Meskipun kedengarannya orang ini menyenangkan, sebenarnya perjalanan asmara kita juga bisa dibilang nggak jelas. Dari background dan pemikiran kita yang beda, kita nggak ada ‘benang merah’ yang bikin ngerasa relate satu sama lain dari kehidupan kita masing-masing.

Pemikiran kita yang beda jadi kendala juga. Jadi, nggak ada obrolan yang bikin kita nyambung, tanpa bikin pihak lain merasa nggak nyaman. Mungkin itu salah satu efek dari background kita yang beda, yang bikin kita beda dalam melihat masalah.

We had nothing in common. Semua topik obrolan yang kita kuasai nggak nyambung satu sama lain aja. Entah aku yang bahan obrolannya aneh sendiri, atau dianya yang suka topik receh. Kayak modif motor, makan, bahkan gosip selebgram yang gak pernah aku ikutin.

Sedangkan topik aku nggak jauh-jauh dari nulis, buku, film Hollywood, dan musik rock atau metal.

Sebenarnya aku sadar kalo kita ini nggak cocok. Tapi aku berusaha bertahan karena kalau masalah obrolan, mungkin bisa kita atasi. Toh, cuma topik obrolan doang kok yang beda. Kita bisa makan makanan favorit dia yang bisa aku nikmati, yang mana aku bukan orang yang suka kulineran banget. Atau nyaranin film komedi yang sebenernya nggak terlalu aku suka banget.

Tapi kalau musik rock metal favorit aku, dia bener-bener nggak bisa relate. Dia lebih suka lagu galau dan ballad Indo.

Kalo ngomongin buku. Huh, jangan berharap bakal didengar baik sama dia. He made fun of it. Dia bakal ngejek aku sebagai kutu buku yang keliatan culun di mata dia.

Apalagi kalau aku pake kacamata saat aku lagi males pake softlens, wah, bakal dia pertegas lagi kalo aku ini memang kutu buku yang kelihatan culun, dengan ciri khas pakai kacamata. Aku sampai mikir: apakah hobi membaca buku memang sehina itu di mata dia?

Atau aku yang sering pake rok berbahan denim yang menurutku nyaman dipake. Dia bakal nambah-nambah kalo aku ini orang yang ketinggalan jaman banget kayak anak tahun 90-an.

Semua yang ada di diri aku kelihatan salah dan aneh aja di mata dia.

Dia juga ngejek aku wibu, cuma karena aku suka Hunter x Hunter. Emang sih, aku punya gantungan akrilik dan kaos anime itu, tapi aku nggak wibu-wibu banget. Anime yang aku suka cuma Hunter x Hunter yang terakhir aku tonton di tahun 2015. Setelah itu, aku nggak nonton anime lagi. Dan aku nggak pernah update tentang jejepangan selama ini.

Selain itu, dia juga kalo aku boleh bilang, orang yang nggak tahu diri. Omongannya tinggi dan suka bawa-bawa pencapaian mantannya. Attitudenya juga menyebalkan. Hal ini yang paling nggak bisa aku tolerir,.

And it turned out dia sendiri nggak punya pencapaian sama sekali, which is ridiculous. So I couldn’t bear his nonsense any longer.

Akhirnya, aku mutusin hubungan itu.

Kenapa aku sempet bertahan? Karena seperti yang aku bilang tadi: Dari semua ketidakcocokan itu, aku rasa aku bisa atasi itu.

Selain itu, aku mencoba jadi inferior. Jadi, aku banyak ngalah dan mengiyakan semua omongan dia, as a woman who lives in this patriarchal system.

Waktu pertemuan pertama, dia emang ngasih kesan yang menyenangkan dan lucu. Jadi, aku merasa nggak masalah dengan orang ini.

Kita jalan di malam hari ke danau yang jadi tempat rekreasi dekat rumahku. Setelah jalan hampir mengelilingi setengah danau itu, kita akhirnya duduk dan ngobrol. Yah, ngobrol casual aja. Tentang kerjaan dan keseharian.

Salah satu topik yang dia bawa adalah tentang mantannya, “Mantanku mah lima, cantik-cantik semua. Yang satu asisten dosen, model lagih”

Padahal orang yang dia ajak bicara ini dulu asisten laboratorium dan model juga.

Lalu, ia lanjut lagi, “Sayang aja kita gagal tunangan” katanya sambil melihat ke danau.

“Gagal kenapa?” tanyaku sambil memegang botol air minum yang dia beli, setelah dia make fun aku orang yang aneh karena ingin pop ice.

“Dia selingkuh mulu dari jaman kuliah. Akhirnya dia lebih milih selingkuhannya yang banyak duitnya daripada aku”

Aku hanya bisa mendengar.

Waktu dia bawa-bawa mantannya yang asisten dosen dan model itu, aku cuma manggut-manggut aja. Sayangnya nggak aku counter. Karena aku pengen ngobrol biasa, bukan mau interview kerja. Aku juga nggak nyimpen sertifikat asisten laboratorium di hape buat ngebuktiin dia.

Secara, kayak yang pernah aku baca di internet, cowok adalah manusia yang egonya tinggi. Jadi, mau dia yapping petualangan cintanya pun aku angguk-angguk aja, meskipun terdengar memuakkan.

Kalau aku pamer achievement aku juga, bisa-bisa dia tambah ngomong lagi. So, aku lebih baik ngalah dan tetap mendengar aja. Aku takut egonya terluka.

Sampe saat ini, aku baru sadar kayaknya emang akunya aja yang salah baca di internet. Bukan baca dari sumber yang jelas kayak di buku yang ditulis para ahli.

,,,

Di samping semua omongannya yang terkesan tinggi, aku jadi curiga “this person has something off, I just didn’t know what” Aku cuma denial aja.

Sampai akhirnya, aku coba ulik tentang dia.

Suatu hari, karena achievement mantannya yang sering dia bawa, aku coba mengulik dia. Siapa tahu achievementnya lebih banyak daripada mantannya, “Kamu dulu kesibukannya apa pas kuliah?”

“Kesibukan apa?”

“Kayak ikut UKM apa kek gitu, selain ngerjain tugas kuliah. Kayak menwa, klub bahasa Inggris, futsal kampus, masuk himpunan atau BEM gitu?”

“Enggak pernah”

Aku menyipitkan mata, “Terus kamu kuliah pulang aja, kupu-kupu gitu?” tanyaku.

“Nggak pernah. Aku mah habis kuliah ya pulang. Kalo hari Minggu aku makan-makan sama mamaku atau keluargaku. Makan seafood tiap minggu”

Padahal aku nggak nanya tentang kuliner dia. Yang aku tanya adalah kegiatan dia selama kuliah, selain ngerjain tugas kuliah.

“Pernah ikut serta di proker prodi kamu gitu, seenggaknya. Nggak pernah juga?” tanyaku lagi

“Maksudnya gimana?”

He even didn’t understand what I mean.

“Maksudku, kalaupun kamu nggak masuk himpunan atau badan eksekutif kampusmu, seenggaknya kamu ada partisipasi di program kerja dari prodi kamu, gitu. Kamu prodi sistem informasi kan? Ya pasti ada lah proker yang diadain anak sistem informasi gitu. Entah kamu bisa jadi koordinator lapangan atau seksi dokumentasi, atau apapun itu” jelasku panjang lebar.

“Nggak. Nggak pernah” jawab dia mantap sambil menggelengkan kepala.

Aku heran. Aku pikir achievement dia sepadan sama mantannya yang model dan asisten dosen itu. Ternyata dia sendiri nggak menyetarakan dirinya dengan mantannya.

I don’t condone infidelity. Tapi dari bukti ini, sepertinya masuk akal mantannya selingkuh, meskipun selingkuh itu sendiri bukan hal yang dibenarkan. Siapa juga yang mau bertahan sama pasangan yang semenyebalkan ini?

Akhirnya, kali ini dia yang nanya, “Kamu IPK-nya berapa?”

“3.15” jawabku singkat. Sudah mulai malas meladeni dia karena sadar dia ternyata nggak ada apa-apanya.

“Wih, keren. Aku cuma tiga koma tujuh”

“Wow, cum laude dong!” kagumku, hampir menepis kekesalanku.

“Tiga koma nol tujuh, maksudnya”, lanjut dia dengan terkekeh.

Oke, berarti secara numerik, IPK-nya 3.07. This man had proven himself.

Kali ini, aku yang ‘membual’, “Aku dulu asisten laboratorium tau. Jadi, aku ngedampingin adek kelasku ngukur kenyamanan termal ruangan. Digaji lagi, meskipun cuma tiga bulan. Jadi, asisten laboratorium itu kayak asisten dosen aja. Bedanya, aku sebagai asisten laboratorium fokus ngarahin adek kelas praktikum,”

Aku lanjut lagi “Terus aku masuk proker MA, semacam LDK-nya prodi arsitektur. Aku jadi koordinator kesehatan. Seenggaknya ya ada kegiatan sedikit sih di kampus. Aku pas magang juga nilai aku paling tinggi seangkatan magang. Aku dapet nilai 80, yang lainnya cuma dapet 65 atau di bawahnya. Padahal aku anak arsi, dan tempat magangku lebih ngandelin anak sipil karena bergerak di sektor konstruksi”

Dia sempat terdiam lama. Entah, mungkin lagi mencerna ceritaku. Lalu, dia bilang, “IPK-mu 3.15. Pinter ya berarti kamu” lanjutnya.

Setelah itu, dia jarang bawa-bawa mantannya itu lagi.

Di suatu waktu, dia bercerita tentang sifat dia, “Aku orangnya tuh emosional. Jadi kalo ada apa-apa cenderung pake hati” sambil tangannya menunjuk ke dadanya “Makanya aku kalo kesulut emosi, bener-bener kebawa emosi. Tapi aku juga gampang tersentuh kalo ada cerita sedih” jelasnya lagi.

Aku terdiam sebentar “Kalo kata temen-temenku, aku orangnya agak logis” jawabku singkat dan datar.

Lalu, kita melintasi pertigaan yang macet dan chaos karena alur kendaraan susah diatur. Di situasi itu, dia malah menyoraki kendaraan yang ada di depan dia sambil berdiri. “Huuuuu!” sorak dia heboh sendiri.

Sedangkan aku yang duduk di belakang cuma bisa nahan malu sambil menyudahi dia nyorakin orang lain.

Dua minggu kemudian, kita hampir keserempet motor dengan pengendara motor juga. Untung gak sampe kena. Gasnya agak kencang waktu di persimpangan, sampai kita hampir terserempet waktu pengendara itu datang dari persimpangan lain.

Nggak lama, ia membuka topik “Kalo aku ada kasus nabrakin motor nih, meskipun jelas itu kesalahan aku karena aku nggak lihat-lihat sekitar misalnya, kamu bakal belain siapa?”

Aku mikir lama “Kalo kasus dan kesalahan kamu begitu, ya aku belain korban dong. Aku jelas nggak bisa belain kamu. Tapi aku bantu nenangin dan dampingin kamu di situasi itu. Jadi, ya, aku ngebelain yang kamu tabrak”

“Nggak bisa, dong. Kamu harus ngebelain aku, apapun kesalahan aku”

“Kok begitu?”

“Karena kan kamu cewek aku. Kamu harus ada di pihak aku di situasi apapun, meskipun aku jelas-jelas salah”

Aku mengernyitkan dahi, “Ini bukan masalah keberpihakan. Ini masalah tentang kecelakaan. Konteksnya ya kecelakaan. Jadi yang aku lihat kasusnya di kecelakaan itu, biar masalah kecelakaan itu solved, gitu loh. Kalo yang dikedepankan malah ‘ngebelain siapa’, masalah kecelakaan nggak bakal kelar, meskipun aku ngebela kamu mati-matian. Terus kalo aku ngebelain kamu yang jelas salah, berarti aku mengaburkan fakta dong kalo kamu yang melakukan kesalahan, yang bikin kecelakaan itu terjadi?”

Dia tetap kekeuh dengan pendapat dia yang itu-itu aja.

Di suatu permasalahan, aku paling nggak bisa ngebelain pihak yang jelas-jelas salah, dengan memakai argumen yang terikat hubungan personal.

Kenapa pihak perempuan seakan-akan nggak boleh punya nalar logis untuk melihat sebuah permasalahan, dan harus melihat p ermasalahan dengan hubungan personal? Is this a new kind of abuse?

Lalu suatu hari, aku ingin pergi membeli skincare di MOI, tempat biasa aku beli skincare. Dia menawarkan bantuan untuk ke sana. Akhirnya aku iyakan.

Setelah itu, dia ingin makan. Aku menyarankan kita makan di resto steak daging yang affordable, karena aku sudah lama nggak ke sana.

Sebelum ke resto itu, dia bilang mau ke pasar dulu untuk beli buah. Pikirku, mungkin dia ingin beli buah untuk neneknya. Neneknya suka buah pir.

Tapi saat di pasar, ternyata dia nggak beli buah pir. Dia beli melon setengah potong. Tapi aku nggak ambil pusing tentang buah itu. Mungkin dia beli untuk dia bawa pulang ke rumah habis dari resto buat neneknya atau keluarganya.

Sesampainya di resto, waitress memberi kami menu, lalu kami duduk di tempat duduk dekat jendela.

Saat dia membolak-balikkan menu, mukanya langsung lemas melihat harganya. Aku sudah memilih makanan dan minuman, dia masih tetap terlihat kebingungan. Aku tunggu sampai ia memilih makanan.

Setelah itu, aku angkat tangan ke atas buat manggil waitress. Dia malah ketawa, “Kamu ngapain angkat tangan gitu? Kayak anak lagi sekolah”

Aku bingung denger pertanyaan dia. “Loh, itu kan table manner, itu etika namanya” jawabku singkat. Dia ngetawain table manner aku, meskipun kita makan bukan di resto bintang lima.

“Tapi nggak usah angkat tangan juga kali. Kayak lagi di sekolahan aja angkat tangan” katanya sambil meremehkan.

“Tapi di keluargaku, kalo lagi makan-makan ke resto gini, kita angkat tangan buat manggil waitress. Biar sopan. Jadi nggak usah teriak-teriak” jelasku. “Emang kamu nggak pernah makan di resto kayak gini?”

“Nggak pernah” jawabnya.

“Pantesan” gumamku kesal dalam batin. Kalau responku terang-terangan begini sampai dia dengar, mungkin dia bakal marah.

“Aku mah makan seafood di angkringan. Nggak pernah di resto begini” lanjut dia.

“Tapi meskipun kamu makan seafood di angkringan, kamu gak pernah manggil pelayan kayak gini juga? Angkat tangan itu udah paling sopan loh buat manggil pelayan. Jadi nggak perlu teriak-teriak, bisa ganggu orang lain yang lagi makan” jelasku.

“Manggil pelayan ya manggil aja. Ngapain pake angkat tangan segala?” jawabnya yang mulai meninggikan nada suaranya.

Apanya yang lucu dengan table manner, dengan mengangkat tangan buat manggil waitress? Bukannya itu cara yang lebih sopan buat manggil waitress? Jadi, di mana letak lucunya?

Setelah waitress datang, ia mencatat makanan yang kita pilih. “Oke, pembayaran langsung ke kasir ya, kak”, jelas waitress memberikan billnya, lalu meninggalkan kami.

Dia langsung tegang begitu melihat billnya. Sedangkan aku hanya melihat kaca ke luar jalan, sudah malas makan. Kita masih duduk dengan lama. Dari gelagatnya, sepertinya dia nunggu siapa yang inisiatif bakal bayar makanan ini di antara kita. Aku sudah terlanjur kesal waktu itu, jadinya aku cuek aja.

Akhirnya, dengan langkah lemas, dia mulai berdiri dan ke meja kasir. Jalannya pelan sekali seperti orang ragu-ragu, sambil tetap melihat bill-nya dan tangan kirinya membuka tasnya.

Saat dia udah di antrian ke dua di depan meja kasir, akhirnya aku inisiatif membayar bill-nya. Karena aku sadar sepertinya dia ragu-ragu untuk membayar. Entah dia merasa kemahalan dan terpaksa bayar, atau dia sedang nggak ada uang. Jadi, daripada malu-maluin, aku yang bayar billnya.

Setelah bill terbayar, dia bernafas lega. “Mahal makanannya”, keluhnya sambil berbisik. Aku tetap cuek tidak peduli dan ke meja makan kita.

Setelah kita menghabiskan makanan masing-masing, dia mengeluarkan melon setengah potong yang ia beli. Ia membuat alas kantong plastik di atas meja, lalu meletakkan melon itu di atas alas plastik tadi. Setelah itu, dia mengambil pisau daging yang ada di meja. “What is he going to do?” pikirku.

Ternyata ia beli melon untuk dimakan di sini. Aku kira dia beli melon buat dia bawa ke rumah.

Melon sebesar setengah potong itu dia potong lagi pakai pisau daging steak. Dipotong di resto. Beralaskan kantong plastik pula. Air melonnya meluber ke meja. What was he thinking?

“Kamu kalo akhirnya buat makan di sini, kenapa nggak beli yang udah potongan kecil aja?” tanyaku sambil keheranan.

“Lebih murah beli setengah potong gini lah! Kan bisa dipotong-potong lagi, jadinya lebih banyak”

Ada benarnya juga. Tapi kalo lihat situasi begini makan di resto, sepertinya nggak usah ribet sampai beli setengah potong juga deh. Ujung-ujungnya dia potong juga. Mana pakai pisau yang nggak sesuai peruntukan pula. Kenapa orang ini ribet sekali?

Belum kelar kejadian itu. Setelah kelar makan melon, kita pulang naik motor. Saat motor meninggalkan resto beberapa meter, dia ngeluh lagi harga makanan itu.

“Wah, gila! Makananannya mahal banget! Tau gitu mending makan Richeese aja!” keluhnya dengan suara kencang sampai terdengar orang-orang di sekitar

Dia lanjut lagi “Untung aja kamu yang bayarin! Bukan aku.” dengan nada suaranya yang tetap meninggi.

This person is getting more embarrassing.

Padahal, kalau dipikir-pikir dari cerita dia yang tiap minggu sering makan seafood, harga makanannya juga nggak kalah mahal. Satu menu seafood bisa seharga Rp 30.000 sampai Rp 70.000 ke atas. Untuk makanan resto steak yang harganya masih murah ini juga rata-rata seharga Rp 30.000 per porsi. Apa bedanya kalau dari segi harga?

Apalagi dengan rutinitas tiap minggunya yang makan seafood, dengan harga rata-ratanya yang sama kayak harga makanan steak ini. Apa bedanya?

Aku sepanjang jalan cuma nahan malu, sekaligus nyesel ngebayarin makan orang ini. Dengan suaranya dia yang kenceng di jalan, makin lama orang ini makin nggak tau diri.

Puncaknya, aku memutuskan dia secara sepihak. Karena kelakuan dia yang menurutku sudah keterlaluan.

Jadi, ceritanya, waktu aku di Jogja, aku sempat ga balas WA dia selama dua hari, karena sibuk bantuin saudara hajatan rumah baru di sana. Aku minta maaf ke dia dan memaparkan alasannya. Lalu, aku memutuskan buat kasih oleh-oleh sesampainya di Jakarta agar suasana jadi mencair lagi.

Setelah sampai di Jakarta. Aku pergi ke rumahnya. Ada neneknya waktu itu, dan aku diajak ngobrol sama neneknya.

Saat aku ngobrol, aku malah disindir-sindir liburan sebulan dan sok lupa di depan neneknya. Padahal aku cuma liburan selama tiga hari dua malam.

Karena aku yang bertamu malah diperlakukan dengan nggak sopan begitu sama tuan rumah, besoknya aku putusin. Menurutku, perlakuannya sudah keterlaluan, meskipun aku pernah melakukan salah dan minta maaf, dan berusaha memperbaiki keadaan sebaik mungkin.

Hikmah yang aku petik cuma cerita petualangan asmaranya dia: Pantas dari kelima mantannya nggak ada yang bertahan sama dia. Aku paham juga kenapa mantannya yang asdos dan model itu ninggalin dia, sampe lamaran tunangan pun ditolak. Dianya sendiri begitu, siapa juga yang mau sama cowok se-tidak dewasa itu?

I didn’t say I am dominant in a relationship. Aku juga nggak bisa inferior juga buat mengiyakan semua perkataan pasangan.

Tapi, lama-kelamaan, pura-pura untuk mengalah juga melelahkan, apalagi mengalah atas kelakuan pasangan yang nggak masuk akal.

Akhirnya, aku jadi mantan keenam dia, yang jadi daftar panjang histori petualangan cinta dia. Mungkin juga menambah daftar panjang kenapa dia tidak kunjung menemukan jodoh.

So, I decided to postpone my romantic adventure. Some men are getting ridiculous lately.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *