“Tapi saya mau disclaimer dulu, ya…”
“Kamu nggak kebiasa curhat, ya, kak?”, tanya penulis puisi itu dengan suara yang lebih berat daripada sebelumnya, seperti sedang menginterogasi.
Waktu itu, saya datang ke event Par Les Mots di IFI Thamrin. Kebetulan, di situ ada penulis puisi yang akan membuatkan kita puisi, berdasarkan cerita lewat curhatan kita.
Sayangnya, saat disuruh curhat, saya malah terdiam lama. Mata saya terpaku ke arah jendela. Ia sampai menghela napas dan bertanya seperti itu ke saya. Padahal tangannya sudah di atas mesin tik, bersiap untuk mengetik kalimat puitis berdasarkan curhatan saya.
Dan kebetulan tiga hari sebelumnya, saya dikunci selama dua jam bersama keponakan saya. Saya harus mengamankan dua keponakan saya selama abang dan ipar saya bercekcok. Trauma itu tidak hilang juga. Saya terus melihat jendela, karena waktu itu saya hampir mau loncat kabur lewat jendela.
Begitu mendengar pertanyaannya, saya langsung panik. Nadanya seperti men-judge saya. Tapi di lain sisi, itu adalah fakta yang tak terbantahkan. “Umm. Ya, bisa dibilang begitu,” jawab saya. “Sebenarnya nggak gitu juga, mas. Saya kebiasa curhat pake Bahasa Inggris. Makanya saya mau disclaimer dulu, kira-kira nggak papa kan kalo saya ngomongnya campur Bahasa Inggris?”
Dia mulai menyipitikan mata, “oh, gitu ya? Tapi saya nggak terlalu paham Bahasa Inggris sih. Apalagi nilai listening saya jelek,” katanya sambil terkekeh. “Tapi boleh kok. Sepahamnya saya ya, tapi saya usahakan buat memahami”
Untungnya si penulis bisa kooperatif. Dan saya mulai curhat dengan Bahasa Indonesia campur Bahasa Inggris.
…
Yang sulit dari diri saya adalah saya memang susah sekali curhat, apalagi dalam bahasa Indonesia. Saking susahnya, saya terpaksa curhat pakai Bahasa Indonesia dengan campuran Bahasa Inggris di beberapa kesempatan. Seperti yang kalian tahu, logat Jaksel kalau kita bilang.
Ironisnya, saya belum paham betul bagaimana logat jaksel sampai umur 25, ketika bertemu teman dari Jakarta Selatan. Ternyata saya lebih cocok berbaur dengan mereka dibanding teman-teman saya terdahulu. Saat kuliah, saya memang sudah sering dengar istilah logat jaksel: cara bicara yang bahasanya campur Indonesia dan Inggris. Sayangnya, waktu itu saya tidak memperdulikan istilah pergaulan semacam itu.
Secara, saya hidup di lingkungan yang kebanyakan tidak menguasai Bahasa Inggris. Maka dari itu, biasanya saya dianggap anomali atau jadi bahan ejekan karena suka pakai Bahasa Inggris. Tapi di lain sisi, saya juga dimanfaati banyak orang tentang skill bahasa ini.
Seperti saat di sekolah, teman saya mengumumkan temannya dari kelas lain kalau saya nonton film di laptop pakai subtitle Bahasa Inggris. Padahal waktu itu, saya terpaksa nonton dengan subtitle yang ada, karena tidak ada settingan subtitle Bahasa Indonesia. Saya sudah diperlakukan seperti orang aneh saja.
…
Hal ini bukan karena sebab: saya sudah belajar Bahasa Inggris secara otodidak sejak kelas 2 SD.
Mulanya dari hobi saya yang suka main gim di ponsel. Waktu itu, saya bermain game Manage It! di ponsel karyawan orang tua saya. Kebetulan, gim itu berbahasa Inggris. Karena saya tidak paham arti kata-katanya, saya kerap bertanya ke abang saya sambil menunjuk layar ponsel. Mungkin abang saya capek meladeni pertanyaan saya yang lama-lama tidak ada habisnya. Akhirnya, saya diberikan kamus Inggris-Indonesia milik dia.
Lalu, dia mengajari saya bagaimana cara cari kata yang dimaksud. Caranya dimulai dengan mencari abjad di samping buku. Setelah halaman abjad dibuka, kita lihat guide words di atas halamannya untuk melihat rentang kata per halaman. Jadi, saya harus memperkirakan juga abjad selanjutnya selain abjad awal kata. Lalu, saya harus cari kata satu per satu hingga ketemu kata yang kumaksud.
Jadi, sambil bermain gim, saya juga mencari arti kata di kamus. Kamus itu selalu di samping saya. Akhirnya, saya inisiatif untuk mencatatnya di buku tulis saya.
Melihat saya belajar Bahasa Inggris secara otodidak, ibu saya memasukkan saya ke kursus Bahasa Inggris saat saya kelas tiga SD.
Kursus bahasa saya bukan yang punya nama besar seperti English First atau LIA. Hanya kursus yang terkenal di daerah itu saja. Cabangnya pun hanya ada dua dan jaraknya berdekatan. Awal kursus, saya menikmati masa-masa belajar bahasa Inggris itu. Tapi lama kelamaan, saya dibully.
Bullying ini membuat saya jarang masuk. Jadi, saya memilih untuk belajar Bahasa Inggris sendiri dengan fokus menulis diary dalam Bahasa Inggris. Hal ini juga saya lakukan karena ibu saya sering masuk ke kamar dan membaca diary tanpa seizin saya. Jadi, saya menulis diary dalam bahasa Inggris.
…
Seiring dewasa, saya baru paham mengapa bahasa Inggris terasa seperti rumah kedua, sementara bahasa Indonesia terasa seperti beban. Bahasa sangat erat kaitannya dengan budaya. Bahasa selalu membawa bayangan nilai, moral, dan aturan yang menempel pada komunitas penuturnya. Di Indonesia, bahasa ibu sering menjadi medium komunikasi yang sarat tuntutan: harus selalu positif, tidak boleh mengeluh, dan dianggap sebagai “doa”. Tekanan inilah yang membuat saya merasa harus tampil baik-baik saja saat memakai bahasa Indonesia. Maka dari itu, menulis diary dalam bahasa Inggris membuat saya lebih leluasa untuk mengungkapkan berbagai ekspresi, sekalipun emosi negatif dan mentah, tanpa dibatasi norma budaya.
Ibu saya sering sekali menekan untuk jangan menyebut emosi negatif karena pamali atau tabu. Bahkan ia bilang kalau setiap kalimat yang diungkapkan adalah doa. Permasalahan ini seperti beban moral yang harus saya bawa, bahkan hanya untuk sekedar curhat. Padahal saya hanya ingin curhat, bukan manifestasi setiap hari. Dan dalam menulis atau mengungkapkan apa isi pikiran dan hati, saya sama sekali tidak bermaksud untuk berdoa. Saya hanya ingin jujur mengungkapkan isi hati dan pikiran saya.
Kedengarannya seperti toxic positivity ketika semua hal yang saya ungkapkan harus dianggap sebagai doa. Rasanya seperti menyisihkan sisi terjujur saya, tak mempedulikan seberapa murni perasaan atau pemikiran saya.
Karena itu, saya sadar, budaya ini membatasi saya dalam jujur berekspresi, sehingga saya memilih cenderung main aman: dengan curhat pakai Bahasa Inggris. Hal itulah yang tidak saya sukai dari budaya berkomunikasi disini sampai saya skeptis untuk memakai bahasa ibu dalam bekspresi.
Hanya akhir-akhir ini saja, saya mulai terbuka untuk ekspresif dalam bahasa ibu sendiri dalam beberapa urusan.
…
Di samping pemikiran idealis saya, hal ini jadi penghalang tersendiri dalam beberapa situasi. Seperti saaat konseling ke psikolog, contohnya.
Di tahun 2020, saya hanya bisa terdiam ketika psikolog menyuruh saya untuk curhat -mengungkapkan apa yang saya rasakan. Bukan main, saya harus menceritakan secara kronologis dimulai dari saat saya TK, atau seingat masa kecil saya. Saya harus curhat dalam bahasa Indonesia, yang padahal semua curhatan itu sudah saya tulis dalam Bahasa Inggris. Saya merasa harus mentranslatenya lagi ke dalam bahasa ibu saya. Curhat dengan bahasa ibu menjadi lebih melelahkan dibanding dengan bahasa Inggris, karena saya sudah terbiasa dengan kosakata Inggris
Hanya akhir-akhir ini, saya mulai untuk terbuka dengan bahasa ibu, meskipun tidak mungkin secara tiba-tiba. Saya sadar, kebiasaan ini akan berubah seiring berjalannya waktu. Dengan menulis blog yang sudah pasti audiensnya teman-teman saya sendiri, saya mau tidak mau harus terbuka dengan bahasa Indonesia.
…
Cara yang saya lakukan ini sepertinya berbuah manis, meskipun tidak secara total.
Satu bulan yang lalu, saat saya konseling ke psikolog di daerah Bekasi, saya duduk berhadapan dengan psikolog lagi. Ada sebuah permasalahan yang tidak bisa saya solve sendiri. Jadi, saat saya ingin mengungkapkan apa isi pikiran dan hati saya, saya akan disclaimer dulu, “Kak, tapi saya mau disclaimer dulu, ya. Saya nggak kebiasa curhat pake Bahasa Indonesia. Jadi, kalo berhubungan dengan hal yang emosional, saya pakenya Bahasa Inggris. Nggak papa kan?”
Saya selalu melakukan itu dan memastikan lawan bicara paham, bahwa bagian paling jujur dalam diri saya hidup dalam dua bahasa. Dan acap kali, bukan dalam bahasa ibu saya sendiri.


