#DiaryVeni

Saya Sadar Tidak Punya Role Model yang Dimulai Dari Rumah

Mengingat saya tinggal di lingkungan yang abusive – ayah saya, dan ibu saya yang suka membentak saat kecil, yang suka memfokuskan saya untuk belajar tanpa komunikasi di rumah, saya sadar saya tumbuh jadi orang dewasa yang clueless.

Hari-hari yang saya jalani hanya ketakutan masa dewasa saya kalau nasib saya sama seperti ibu saya. Mungkin orang lihat saya punya banyak uang karena saya hidup dari kalangan pengusaha, semua urusan terlihat mudah: bisa bayar uang untuk jalan-jalan, termasuk akses ke psikiater atau psikolog. Tapi bagi orang-orang yang tidak pernah merasa sekaya (secara material) saya, mudah saja berkata seperti itu karena belum pernah ada di sepatu saya.

Saya jamin, pasti tidak akan merasa bahagia jadi saya. Saya tanya: kau bisa bahagia setelah dua minggu yang lalu kamu lihat ibumu ditonjok ayahmu, saat kamu lagi jalan-jalan ke Bandung? atau bahkan ke Eropa?

Let’s say solusi terklise seperti: kalaupun kamu tidak bahagia, kamu bisa punya akses ke psikiater. Tidakkah kamu berpikir kalau ternyata selama ini bahagiamu harus dari obat, bukan murni karena kamu bahagia? Permasalahannya siapa juga yang bisa bahagia hidup di rumah yang selalu ribut dengan adu fisik seperti itu? Siapa yang bisa bahagia dengan keadaan keluarga semacam itu? Saya jamin, kalau bisa bahagia, pasti jiwa dan raganya tidak selamanya di rumah.

Sayangnya, saya hidup sedari kecil mau tidak mau harus di rumah, yang bikin saya tidak bisa ke mana-mana. Karena ibu saya selalu menggunakan saya sebagai tameng cekcok dia.

Saya selalu jadi garda terdepan mereka bertengkar. Contohnya seperti ini, kalau bapak sedang marah, saya harus yang ngomong, “Bapak, jangan gitu lagi ya. Peni sedih”. Ya, saya sedih. Tapi bukan murni kemauan saya untuk bicara seperti itu. Saya disuruh ibu saya untuk jadi penetral suasana. Sedari kecil, saya sudah terbiasa menghadapi konflik yang saya sendiri tidak tahu bagaimana menghadapinya.

Sampai saat ini, mungkin abusiveness ayah saya ke ibu saya berkurang. Tapi sekarang abang saya yang begitu ke ipar saya.

Sampai saat ini, saya sadar, saya hidup hanya untuk bertahan diri. Bukan berfikir secara strategis untuk karir saya. Hingga saya harus bertemu dengan suasana yang sama secara karir.

Hal ini sangat menyiksa saya. Secara, saya tidak pernah bercita-cita untuk jadi pengusaha. Tapi untuk sekarang, saya memang tidak punya pilihan lain selain bertahan, apalagi dengan keadaan mental seperti ini.

Modal Bertahan Hidup

Sampai saat ini, saya bertahan hidup bermodalkan “Mengambil fragmen-fragmen kecil dari orang yang saya temui”. People come and go, saya sadar itu. Tapi setidaknya ada hal kecil yang bisa saya pelajari dari mereka, yang tidak saya peroleh di rumah.

Dulu, saat saya kelas 3 SD, saya masih ingat sekali pelajaran PKN tentang hak dan kewajiban. Bunyinya kurang lebih seperti ini: jika kamu ingin hakmu dipenuhi, maka lakukan dulu kewajibanmu. Contohnya rajin belajar, agar ranking dan orang tua bangga. Hal ini jadi pegangan hidup saya dari SD hingga kuliah.

Dan akhirnya saya sadar, tidak semua idealisme bisa saya terapkan. Adakalanya beberapa idealisme sudah tidak relevan lagi, tergantung situasi dan kebutuhan. Contohnya seperti idealisme dari pelajaran PKN itu di masa dewasa ini. Mau sekeras apapun saya melakukan kewajiban, kalau hak saya tidak saya peroleh juga, untuk apa saya berpegang pada idealisme itu lagi? Saya sudah bekerja keras dan belajar sampai saya tidak bisa tidur tidak cukup membuat orangtua saya bangga dan berhenti melakukan konflik itu lagi.

Nyatanya, tidak semudah itu. Saya sadar, saya terlalu naif untuk berharap agar orang berubah. Apalagi dengan prestasi saya. Pahitnya, orang tidak akan berubah, sekeras apapun usahamu membanggakan atau mengubah mereka – unless they wanted to do it themselves.

Hidup Tanpa Role Model Terdekat

In adult times, cluelessness isn’t funny. There are times where you’re really lost, but in fact you’re going nowhere. You’re stuck in the same place.

Seperti itulah yang saya rasakan sekarang. Tidak ada role model yang bisa saya ikuti selama saya hidup. Mau belajar dari orang tua saya? Salutnya, mereka resilien di tengah tekanan hidup. Begitupun saya: resilien di tengah konflik mereka. Selebihnya? Tidak ada. Mereka berdua hanya dua orang yang pathetic. Saya tidak mau berakhir seperti ibu dan bapak saya.

Maka dari itu, saya cari role model di luar.

Dulu saya ingin seperti jadi Raditya Dika. Karena saya gemar membaca bukunya yang lucu. Saya punya banyak buku-buknya sejak tahun 2012, seperti Kambingjantan, Radikus Makankakus, Cinta Brontosaurus, dll. Saya juga terinspirasi menjadi blogger dan penulis seperti dia. Tidak untuk jadi komedian, karena saya sadar saya tidak selucu itu untuk melawak.

Hanya baru-baru ini saya terinspirasi Tara Westover dan Gita Savitri. Mereka bisa jujur dengan diri mereka sendiri kalau mereka hidup di keluarga yang toxic dan mereka bisa keluar dari situ. Hal langka saya temui di tempat yang patriarkismenya kental sekali seperti di negara ini.

Selain itu, saya juga terinspirasi Gita Wirjawan. Ia sangat visioner sekali saat membicarakan kemanusiaan, pendidikan, dan keadilan. Pembawaannya tidak meledak-ledak. Dan ia humanis sekali dalam memaparkan keadilan. Tidak ada narasi melegalkan kekerasan terhadap gender tertentu seperti yang ayah saya pernah paparkan. Ya, ayah saya melegalkan kekerasan terhadap perempuan, dan sayangnya diamini oleh ibu saya.

Maka dari itu, saya bertahan hanya bermodalkan teman-teman saya yang fokus di bidang literasi dan mereka. Saya berterima kasih sekali dengan mereka, karena baru-baru ini saya merasa diterima di masyarakat saat saya menenteng tulisan, baik dari buku pilihan saya maupun tulisan saya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *